Senin, 25 Januari 2016

*Goresan remaja

Apa artinya cinta jika hanya menggoreskan luka? Apa artinya cinta jika diperlakukan dengan cara yang tidak tepat? Jika cinta memang suci, kenapa begitu banyak orang dengan mudahnya mengobral cinta?

Membahas cinta memang tidak akan ada habisnya. Setiap orang memiliki definisinya sendiri tentang cinta. Sebenarnya cinta itu apa? Apakah cinta selalu berubah-ubah dari satu insan ke insan lain, ataukah cinta selalu satu arah setia pada satu hati? Apakah rasa nyaman sama dengan cinta? Ataukah perasaan deg-degan dan tak tentu arah ketika berhadapan dengan lawan jenis disebut cinta? Jangan-jangan cinta hanyalah sebuah kotak kosong yang dapat diisi oleh siapapun sesuka hati. Kotak yang dapat diisi dengan kebahagiaan maupun luka. Tergantung pemiliknya dalam memperlakukan cinta.
*Goresan remaja
-Dwi Ismayati-

Senin, 11 Januari 2016

Menurutmu, apa arti kehidupan??

Mungkin aku lupa hakikat kehidupan. Kenapa aku hidup? Kenapa aku dilahirkan? Dan kenapa aku ada di dunia ini?  Entah apa itu kehidupan. Kita hidup untuk mati. Kita hidup untuk kembali dan pulang kepada-Nya. Kita hidup bukan untuk membuat semua orang bahagia, tetapi kita hidup agar kita berguna dan bermanfaat bagi orang lain. Sebaik apapun perbuatan kita, belum tentu semua orang akan berkomentar baik tentang kita. Bukankah memang begitu kehidupan? Kita hidup, kita yang menjalani-baik buruk nya. Setiap orang mempunyai hak nya masing-masing berkomentar atas hidup orang lain.
Orang bijak bilang; “Sebaik apapun orang lain menilai tentang kita, hanya kitalah yang paling tahu apakah memang kita sebaik itu. Pun sebaliknya, seburuk apapun orang lain menilai kita, hanya kita jugalah yang paling tahu apakah memang kita seburuk itu.”
Kita hidup untuk kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan. Lantas kenapa kita mempersulit hidup kita sendiri?
Terkadang aku terlalu berambisi sehingga aku lupa bahwa aku telah jauh melewati batas. Kata ayah, mempunyai ambisi yang besar memang bagus, tetapi juga harus tahu bagaimana kemampuan diri.
Banyak hal yang ingin aku kejar, banyak pengalaman yang ingin aku lalui, pun banyak prestasi yang ingin aku capai. Sungguh manusia tidak pernah puas. Memiliki rasa ambisi yang tinggi memang bagus untuk pengembangan diri, tetapi terkadang hal tersebut justru membuat aku lupa untuk bersyukur. Aku lupa bahwa segala sesuatu sudah menjadi ketentuan-Nya.
Aku memang bukan seseorang yang fokus. Kepribadianku buruk, aku terlalu mudah goyah dan gampang terpengaruh terhadap lingkungan.
Diusiaku yang terbilang bukan remaja lagi, sudah sepatutnya aku mengerti baik dan buruk. Aku bukan lagi seorang abg yang sedang sibuk mencari jati diri dan ingin mencoba banyak hal. Selalu penasaran dengan hal-hal yang menarik perhatian. Aku seharusnya sudah fokus untuk menata kehidupan di masa depan kelak. Tidak selamanya aku seperti ini, selalu bersama orang tua. Kata ayah, suatu hari nanti akan tiba saatnya aku menjadi orang tua, mengahadapi kehidupan nyata, bertanggungjawab akan banyak hal dan lain sebagainya. Sebelum hari itu tiba, sudah sepatutnya aku mempersiapkan diri.
Hakikatnya, hidup itu sederhana. Tetapi terkadang manusia lah yang membuatnya terlihat rumit.
Kebahagiaan terbesar dalam hidup ini adalah ketika kita bisa memberi sesuatu untuk orang lain. Ketika kita terlahir, kita menangis dan semua orang tersenyum. Maka, jalanilah hidup dengan sebaik-baiknya agar saat kita tiada, kita tersenyum dan semua orang menangis.
Dwi Ismayati

Yogyakarta, 11 Januari 2016

Minggu, 10 Januari 2016

Passion??

Apakah di usia mu sekarang kamu masih merasa belum menemukan passion mu?

Waktu terus berjalan tanpa harus menunggu. Kelahiran, masa anak-anak, remaja ‘sang pencari jati diri’ hingga pada akhir nya pada tahap dewasa dan tua.
Menemukan passion erat kaitannya dengan menemukan jati diri dan biasanya dialami oleh remaja. Tetapi bagaimana jika sudah berusia 20 tahun-an merasa belum menemukan passion? Sebenarnya kita lah yang paing tahu mengenai diri kita. Semakin bertambahnya usia dan semakin banyak pengalaman yang kita lalui, kita semakin paham dan mengerti diri kita, apa yang harus kita lakukan, mana yang baik dan mana yang buruk, dan mana yang terbaik untuk kita.
Tapi mungkin ada satu hal yang menghalangi itu semua. Mungkinkah kita terlalu takut? Kita terlalu takut keluar dari zona nyaman ataukah kita selalu ragu dengan setiap pilihan yang kita ambil. Hidup itu adalah pilihan. Salah jika orang bilang ‘aku gak ada pilihan lain’. Pilihan itu tergantung kita. Apakah kita akan mengambil pililahan yang baik atau pilihan yang buruk. Seberapa beranikah kita mengambil resiko? Karena pada dasarnya setiap hal yang telah menjadi keputusan kita, ada resikonya tersendiri.
Apakah kita teralu takut dan ragu untuk memilih? Atau kah kita tidak pernah puas dengan pilihan kita? Berkali-kali mencari passion, berpetualang dengan berbagai hal kehidupan, tetapi pada akhirnya tidak pernah merasa puas dengan pilihan sendiri? Hari ini bilang passion-mu A, berhari-hari, berbulan-bulan, kamu semangat dengan hal yang kamu anggap passion-mu. Tetapi jika pada dasarnya hati kecilmu belum ikhlas, maka kamu tidak akan pernah puas. Maka kamu akan mencari ‘passion’ mu lagi. Kamu akan menganggap A tidak cocok dengan mu. Kamu berpetualang lagi hingga kemudian kamu menggap B adalah passion-mu. Akankah terus begitu? Selalu mencoba hal baru dan kamu tidak pernah merasa puas? Ya, mungkin manusia memang tidak pernah merasa puas.
Tetapi sampai kapankah akan terus ‘mencari’ seperti ini? Sampai tua? Sampai pada akhirnya menunggu ajal menjemput? Mumpung masih muda, memang sangat wajar bagi kita untuk menemukan sesuatu yang baru dan mempelajari banyak hal. Tetapi di satu sisi, kita harus memahami diri kita sendiri, mau jadi apa kita kelak? Apa yang akan terjadi pada diri kita dimasa yang akan datang? Akankah kita hanya menjadi seseorang yang hanya ikut-ikutan ataukah kita akan menemukan diri kita yang berbeda?
Kata ibu, yang kita butuhkan adalah target. Kita harus memiliki target dari setiap langkah kita. Keluar dari zona nyaman dan mencoba menggali potensi diri. Cari lah passion-mu mumpung masih muda. Tetapi kamu harus memiliki target untuk diri sendiri. Coba lah banyak hal dan rasakan apa yang paling menyenangkan dan membuatmu nyaman. Berilah batasan waktu untuk diri sendiri sampai kapan mencari passion. Jangan terlalu terhanyut hanya dalam hal ‘mencari’. Sekali lagi, targetkan setiap langkah. Pada saat waktu itu tiba, yang kamu butuhkan hanya ikhlas. Kamu harus konsisten dalam hal yang memang sudah menjadi passion-mu. Ikhlas menjalani hidup dengan usaha mu sendiri dan memang jalan yang telah dipilihkan Tuhan. Sekali lagi, yang kamu butuh hanya satu untuk passion, kamu yakin, ikhlas dan bisa menerima apa yang memang sudah menjadi jalanmu. Sesederhana itu.
Jangan lupa selalu tuliskan resolusimu. Bagaimana cita-citamu sepuluh Tahun ke depan. Apa yang ingin kamu capai selama satu tahun ini dan apa yang ingin kamu kerjakan setiap bulan bahkan setiap harinya. Buatlah ‘future mapping-mu’ sendiri.
Aku menulis ini bukan berarti aku membatasi diri untuk setiap hal baru dan hanya terfokus pada satu hal yang sudah yakin dianggap passion. Aku menulis ini karena aku pernah merasakan diposisi yang sama ketika aku mencari passion. Dulu, aku adalah seorang karateka di dojo KKI (Kushin Ryu M Karate-Do Indonesia). Tetapi aku hanya bertahan hingga sabuk hijau. Aku rasa, aku hanya ingin menambah ilmu dan pengetahuan di bidang lain, minimal aku menguasai dasar-dasarnya. Setelah itu aku ingin mencoba hal baru, aku justru ‘banting stir’ menjadi anggota tari. Merasakan sensasi tampil di atas panggung sebagai ‘penari’ pada acara pentas beberapa kali. Beberapa tahun setelah itu aku berhenti. Lagi dan lagi aku ‘mencari’ hal yang memang membuat aku jatuh cinta. Aku mendaftarkan diri menjadi anggota PMI. Tidak bertahan lama, aku mulai bosan dan merasa jenuh. Aku berfikir mungkin aku ingin menjadi seorang aktivis. Aku bergabung menjadi anggota BEM Fakultas. Disini aku belajar menjadi seorang pemimpin dan sama seperti setiap organisasi lain yang aku ikuti, aku belajar memahami orang lain.
Saat itu yang aku rasa, aku hanya ingin menambah ilmu dan pengalaman tanpa berpikir apa sebenarnya passion ku. Aku selalu bersenang-senang dengan setiap hal yang aku lakukan. Selagi itu positif, aku dengan senang hati melakukannya.
Semakin aku bertambah umur, aku semakin berpikir bahwa pada satu titik aku harus berhenti bermain. Pada satu titik aku harus fokus pada hal yang memang aku cintai. Jalan hidup yang aku lalui, memberikan warna-warni indah dalam setiap perjalanan ku. Aku bersyukur atas semua hal yang telah aku lalui dan ilmu yang aku peroleh. Kata ayah, ‘setiap ilmu akan berguna, mungkin kamu tidak merasakannya secara langsung saat ini, tetapi suatu saat pasti ilmu yang kamu miliki akan berguna baik untuk dirimu sendiri atapun orang lain’.
Dari semua itu, yang ingin aku lakukan saat ini dan masa yang akan datang, aku ingin menjadi ‘guru’ bagi siapapun. Berbagi ilmu dan pengalaman yang aku peroleh.
Masa depan memang tidak pernah pasti. Menuju masa depan dan mempersiapkan masa depan, itu beda. Sudah sampai manakah target yang kau siapkan untuk menuju masa depan?

Dwi Ismayati

10 Januari 2016

Sabtu, 09 Januari 2016

-Ririn Ditha Aprila-

Nama lengkapnya Ririn Ditha Aprila, tapi suka dipanggil Ditha. Ingat, Ditha!! Bukan dita.. Pake ‘h’. Ditha bisa protes klo huruf ‘h’ nya hilang.
Tujuh tahun sudah sahabatan sama perempuan kece ini. Sebenernya sih orang tua kita sudah berteman sejak SMP. Bagi ku Ditha sudah bagaikan keluarga, toh orang tua kita sudah lama saling kenal. Awalnya kenal Ditha kelas dua SMP sebagai siswi pindahan di SMPN1 Pesisir Tengah. Uni Ditha -begitu panggilan akrabnya- pindahan dari Diniyah Putri Bandar Lampung.
Terkadang suka senyum sendiri inget masa remaja bareng Uni Ditha. Dulu kita suka dipanggil dengan sebutan ‘double b’ (Bemo Bagong). Tapi kita sering marah-marah kalo dipanggil dengan sebutan itu. Siapa juga yang suka dipanggil dengan sebutan yang tidak dia sukai. Kita lebih suka dipanggil dengan sebutan ‘double d’ (Dwi Ditha).
Dulu, kita paling suka keluar kelas –alasan pergi ke WC. Suka main ke Selalau berdua, makan ‘tempe mbah’, suka negrjain orang bareng, suka ketawa bareng, seneng-seneng bareng. Kalau mulai bulan puasa, suka main petasan bareng, lemparin petasan banting ke setiap orang yang lewat. –entah bagian nakal ini, Uni inget atau enggak.
Kita juga jadi anak baik sama sama. Uni ngajak untuk ziarah ke makam andung-datuk kita dan cuma berdua. Nyali kita cukup besar ya sebagai remaja SMP berani pergi-pergi ke kuburan sepi dan cuma berdua.
Setiap pergi main, kita selalu mengusahakan untuk lewat daerah ‘pagar baru’. Ya ampun, kangen dengan masa-masa itu.
Tujuh tahun yang lalu saat lagu ‘umbrella-Rihanna’ lagi hits-hits nya, kita tetapkan lagu itu sebagai lagu persahabatan kita. Kita juga dulu suka ‘debat’ karena lirik lagu ‘umbrella’ ini. Kalo dipikir2 sih, liriknya gak ada nyambung-nyambung nya sama persahabatan gitu. Ya tapi (mugkin) biar keren, kita pilih lagu luar negeri gitu.
Perempuan kelahiran 09 April 1995 ini, sayang banget sama keluarga. Uni Ditha punya dua orang adik laki-laki. Adit dan Lutfi. Rasa tanggung jawabnya tinggi. Wajarlah, mungkin memang bawaan sifat anak pertama.
Uni Ditha orang yang baik banget. Sekali kamu berbuat baik sama dia, pasti dia bales kebaikanmu bahkan sepuluh kali lipat. Tapi jangan pernah sakiti hatinya. Sekali kamu menyakiti hatinya, mungkin dia bisa memaafkanmu, tapi ingat dia tidak akan pernah lupa apa yang sudah kamu perbuat kepadanya. Karena memang memaafkan bukan berarti melupakan.
Satu lagi, jangan pernah remehkan dia. Karena kamu gak akan pernah tau kehebatan dia dibalik itu semua.
Uni ditha adalah sahabat yang paling peduli. Dia gak pernah bisa terima kalau sahabatnya disakiti. Dari SMP, Uni selalu mendukung apapun kegiatan Wo Dwi. Saat aku jatuh, terpuruk, Uni selalu ada. Bukan hanya sekadar sebagai seorang teman yang selalu ada, tetapi juga selalu siap menceburkan diri nya ikut masuk ke dalam masalah.
Uni gak pernah bisa terima kalau ada orang yang nyakiti Wo Dwi, Uni akan marah kalo Wo Dwi diremehkan sama orang lain, dan Uni berani maju paling depan untuk membela Wo Dwi. Uni selalu seperti itu dari dulu sampai sekarang -semoga selalu begitu bahkan sampai nanti- -Maaf ya Uni kalau Wo sering merepotkan-
Kalau udah sayang sama orang, Uni Ditha gak akan tanggug-tanggung kasih apresiasi buat orang yang dia sayangi. Entah itu keluarga, sahabat, bahkan orang yang dia suka.
Ingat waktu Uni terima Universitas Airlangga, dan wo belum terima Universitas manapun saat itu? Rasanya bangga dengan Uni. Sesukses apapun Uni, hebatnya Uni gak pernah ngelupain temen. Uni gak pernah tega ninggalin temen sendirian, bahkan saat teman sedang jatuh. Masih ingat jelas di memori, saat itu Uni selalu menyempatkan waktu untuk datang ke rumah. Uni datang membawa sejuta semangat. Semoga Uni selalu seperti itu ya. Selalu peduli dengan orang lain. Karena kebaikan apapun yang Uni lakukan, InsyaAllah akan dibalas dengan kebaikan juga.
Rasanya baru kemarin kita SMP ya Uni. Gak kerasa kita sekarang adalah mahasiswi tingkat akhir yang sedang berjuang dengan skripsi kita masing-masing.
Walaupun kita terpisah jarak Jogja - Surabaya, tapi rasanya gak pernah jauh dari Uni.

Sukses terus ya Uni. Dimanapun berada, semoga Uni selalu bahagia. Kalau ada masalah apapun jangan dipendem sendiri, inget Uni masih punya sahabat dan keluarga untuk berbagi.

Kamis, 07 Januari 2016

-What do you think about teachers?-

Bagiku guru adalah sesosok manusia yang luar biasa. Seseorang disebut guru bukan karena dia lebih cerdas atau karena dia serba tahu. Tetapi menjadi seorang guru karena dia telah mengetahui lebih dulu daripada muridnya. Guru dengan senang hati berbagi ilmu, pengetahuan dan wawasan. Kata ibu, semakin kita berbagi ilmu, justru ilmu kita akan semakin bertambah.
Sejak kecil aku selalu mendambakan menjadi seorang guru. Berdiri dihadapan murid-murid,  bercerita dan mengajarkan banyak hal serta saling berbagi ilmu.
Guru berperan penting dalam mencetak para ilmuan dan generasi muda berpendidikan. Polisi, Dokter, Apoteker, Perawat, Bidan, Hakim, Menteri, Politikus, bahkan Presiden sekalipun belajar dari seorang guru.
Tetapi semakin aku beranjak dewasa, bagiku definisi guru tidak sesederhana itu. Bagiku guru tidak sebatas hanya mengajar di dalam kelas. Definisi guru itu luas. Aku ingin menjadi seorang guru bagi murid-muridku, menjadi guru bagi adik-adikku, menjadi guru bagi karyawan-karyawanku dan menjadi guru bagi anak-anakku kelak.
Dengan kata lain, kelak aku ingin mempunyai sebuah usaha dimana karyawan-karyawanku dapat belajar banyak dari ku. Aku akan menjadi guru pertama (ibu) bagi anak-anakku dan menjadi guru bagi masyarakat sekitar.
Karena itu aku harus memiliki ‘modal’ apa yang harus aku berikan kepada mereka.
Orang bijak bilang, ‘apa yang akan kamu berikan sebagai seorang guru kepada muridmu jika kamu saja tidak mempunyai ‘modal’. Ilmu yang kamu berikan kepada murid-muridmu, belum tentu semua akan diterima dengan baik oleh mereka, apalagi jika pengetahuan seorang guru memang sangat kuran.’ Karena itu aku ingin belajar banyak hal untuk menjadi seorang guru.
Aku memang tidak belajar secara formal bagaimana menjadi seorang guru, bagaimana pendidikan karakter dan lain sebagainya. Tetapi aku tetap ingin menjadi seorang guru.
Pun kini, dimasa-masa kuliah, aku menyukai kegaiatan ku di luar kampus. Mengajar di Yayasan Al-Mizan. Berinteraksi langsung dengan anak-anak, mulai dari TK sampai SD. Lima bulan mengajar disini, ada banyak kebahagiaan tersendiri yang aku dapatkan. Mengajar, tertawa, bercerita, semua menyenangkan. Terkadang memang sulit mengahadapi anak-anak ‘nakal’. Tetapi disitulah tantangan nya.
Kata ibu, jika kamu mengajar dimulai dengan mengajar anak nakal, kelak kamu akan lebih mudah untuk menangani anak yang lebih baik. Karakter anak selalu berbeda-beda.
Aku ingin mengajar agar aku BELAJAR. Aku ingin mendidik agar aku TERDIDIK.
Mungkin benar komentar teman-teman tentang keinginanku menjadi guru.
“Kenapa kamu tidak menjadi guru sesungguhnya? Maksudku, kenapa tidak kuliah di fakultas yang memang khusus keguruan? Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Bukankah jika kamu menjadi guru di sekolah, waktu mu untuk bertemu dengan murid-murid mu justru semakin intens? Kamu dapat setiap hari bertemu dan berinteraksi dengan mereka? Tetapi kenapa kamu justru memilih jurusan lain selain guru?”
Aku memang menyukai semua hal tentang guru, tetapi selain itu aku juga menyukai hal lain. Aku ingin menjadi seorang farmasis. Bagiku, semua orang bisa menjadi guru tanpa harus kuliah di fakultas keguruan. Tetapi tidak semua orang bisa menjadi farmasis tanpa mengenyam pendidikan di bidang farmasi sebelumnya. Selain itu aku tidak menyukai hal terikat seperti bekerja satu arah hanya sebagai seorang guru. Aku menjadikan kegiatan belajar-mengajar sebagai sebuah hobi dan kebahagiaan yang aku dapatkan.
Ayah bilang, ilmu itu tidak sebatas kamu belajar dan duduk di kelas.  Pepatah lama mengatakan: “Pengalaman adalah guru yang paling baik”
Aku memang bukan seseorang yang cerdas seperti rekan-rekanku yang biasa mewakili universitas untuk lomba sana-sini. Pun aku bukan seorang aktivis hebat dan berpengaruh dalam organisasi. Aku sadar aku tidak sehebat itu. Aku hanya seseorang yang biasa-biasa saja. Aku hanyalah seorang gadis desa yang merantau dengan membawa berjuta harapan masa depan.
Tapi aku paham kelebihanku adalah bahwa aku peduli. Aku peduli dengan orang lain, aku peduli dengan dunia pendidikan, dan aku peduli dengan generasi muda. Mungkin modal yang aku miliki hanya berawal dari rasa peduli.
Tetapi bukankah guru memang seorang pahlawan tanpa tanda jasa meskipun jasa guru sebenarnya sangat besar?
Bersyukur karena aku masih diberi kesempatan untuk menuntut ilmu dibangku pendidikan, belajar bersama guru-guru hebat.
Hingga kini jika ditanya apa cita-cita ku, jawabanku akan tetap sama, aku ingin menjadi ‘guru’. Aku ingin mengabdikan diriku kepada masyarakat dengan ilmu yang aku miliki sebagai seorang farmasis dan membagi waktuku menjadi seorang ‘guru’. Mengajar anak-anak muda dan generasi penerus bangsa. Bagiku mengajar adalah sebuah hobi untuk saling berbagi.
Hah, entah mungkin orang menganggap aku terlalu muluk-muluk. Tapi bagiku tidak. Justru keinginanku sederhana. Aku hanya ingin mengabdikan diriku dengan ilmu yang aku miliki. Berbagi dan saling membantu ketika aku berprofesi sebagai farmasis, dan membagi ilmu ketika aku sebagai seorang ‘guru’.

Sesederhana itu keinginanku. Aku hanya ingin menjadi ‘guru’ dan bermanfaat bagi orang lain.  Bukankah orang hebat adalah orang yang dapat membuat orang lain (juga) hebat?

Selasa, 05 Januari 2016

-7 Alay-

Entah gimana mulai terbentuknya 7 alay. Dari sekian banyak nama perkumpulan persahabatan, entah kenapa nama yang dipilih ‘7 alay’. Ini kerjaan Balqis yang pertama kali mencetuskan nama 7 alay.
Tidak ada arti khusus nama 7 alay. Hanya perkumpulan tujuh wanita alay yang sukanya heboh. Kami bukanlah sebuah geng atau perkumpulan orang yang membentuk geng dan menutup diri dengan orang luar. Kami masih bersosialisi dengan orang lain dan dengan organisasi kami masing-masing. Ini hanya semacam sahabat dekat yang saling ‘nyambung’ kalo lagi kumpul. Peraturannya sederhana, yang gak alay dihukum. Entah apa maksudnya.
Tujuh anak manusia dengan karakter berbeda-beda kumpul di satu fakultas yang sama, Farmasi Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta. Singkat cerita, sahabatan dengan mereka sejak semester satu. Curhat bareng, kumpul bareng dan seneng-seneng bareng kayak anak remaja pada umumnya. Ya sekarang mungkin udah gak pantes lagi buat dibilang remaja. Kumpul bersama mereka bagaikan kumpul bersama keluarga. Rasanya nyatu aja.
Kumpulan anak-anak kalo ngomong gak bisa ‘santai’, gak bisa ‘selo’. Kumpul dengan mereka gak akan kesepian. Percaya. Berisiknya dari sabang sampai merauke. Kumpul tujuh orang rasanya tujuh puluh orang.
Kakak tertua dari 7 alay, Azmi Indah Puspita. Asal Brebes kelahiran 17 desember 1993. Pecinta warna biru. Panggilan awal kita buat kakak Azmi sih, awalnya ‘bude’. Tapi makin kesini jadi panggil kakak Azmi. Pernah denger anak-anak kelas bilang, orang yang paling pendiem diantara kita ber-7 adalah Azmi. Sumpah, aku gak terima dengan pernyataan itu. Mereka gak tahu aja klo azmi sudah ngomel kayak gimana. Apalagi kakak tertua ini gak boleh di lawan, nanti kualat. Tapi ya kakak tertua ini cukup hebat sih, mengayomi kita ‘adik-adiknya’. Walaupun Kakak Azmi ini perempuan, tapi kesukaannya club bola. Fans berat club bola Chelsea. Tapi kakak Azmi sekarang juga penggemar boyband cilik coboy junior.
Kakak kedua, Ayu Nabila Haqq. Lebih sering dipanggil dengan sebutan kakak Nabil. Padalah dulu kita suka bilang ‘Oma Nabil’. Wong Jogja. Lahir tanggal 03 Januari 1994. Kakak Nabil suka banget sama warna merah. Perubahan yang tampak dari Nabil ya perubahan berat badan. Gak jauh beda lah ya kayak aku, naiknya semester berbanding lurus dengan naiknya berat badan. Kakak Nabil pecinta boneka monyet. Kakak Nabil sekarang juga sama dengan kakak Azmi pecinta boyband cilik coboy junior.
Eryona Azizun Rosyida. Asal Lombok, asli Jawa. Lahir di Sleman, 02 Maret 1994. Hmm, kadang bisa membuat muka jutek, kadang ceria ketawa bahagia gak ada beban. Dulu kita panggil Yona dengan sebutan ‘mamah’. Sekarang sih udah gak pernah panggil dengan sebutan itu. Kadang panggil Yona, Ery, Eryon, atau Ngajijun. Tapi aku sih lebih suka panggil Jijun. Warna favorite-nya ungu, tapi gak suka sama grup band ‘ungu’. Suka banget sama Korea dan apapun tentang Korea. Boyband favorite-nya 2PM dan tergila-gila dengan Taecyeon.  Tapi Eryona sering jadi partner aku nonton konser Sheila On 7.
Dewi Sekar Arum Kartika. Asal Lampung, asli Jawa. Perempuan keriting kelahiran 21 April 1994 ini biasa kita panggil ‘mamih’. Mamih Sekar. Ya karena jiwanya yang keibuan mungkin. Kalo rumah kontrakan kotor, dia ngomel. Habis makan harus diberesin, cuci piringlah, apalah. Walaupun sambil ngomel-ngomel, tetap aja dikerjain sendiri sama sekar, yang penting bersih. Bagus lah ya ada mamih-mamih begini. Mamih Sekar adalah seorang IMM sejati. Muhammadiyah joss!! Ketika kita semua sudah demisioner dari organisasi, baik itu BEM ataupun IMM, Sekar justru naik jabatan menjadi skeretaris koorkom, apalah itu IMM Universitas. Mamih Sekar entah bisa dibilang tomboy atau feminim, tapi yang jelas warna kesukaannya ‘pink’. Kesannya cewek banget.
Balqis Hanifa Zahra. Asli jogja yang lahir tanggal 08 Juni 1994. Dulu sih suka dipanggil Buyut Balqis. Tapi sekarang sih panggil Balqis-Balqis aja. Balqis pemilik lidah paling ‘tajam’ untuk bagian pem-bully-an. Ada aja kata-kata kreatif yang keluar dari bibir perempuan ini. Mungkin karena memang terlalu banyak buku yang habis dibaca nya terutama novel, jadi bisa dengan mudah mengeluarkan kata-kata. Sama kayak Yona, Balqis juga pecinta gila Korea dan suka banget sama boyband infinite. Katanya dia suka warna kuning. Entah apa yang menarik dari warna kuning. Mungkin karena kuning itu cerah, secerah harapan-harapan masa depan Balqis.
Inas Shoofi Awaliyah. Jawa-Sunda. Asal kebumen. Inas si adek bungsu kelahiran 06 Februari 1995. Awalnya sih mau di panggil ‘si mbok’. Tapi gak jadi, cukup panggil dedek alay aja. Walaupun Inas adek bungsu kita, percaya atau engga sebenernya Inas adalah anak pertama di keluarganya. Inas punya satu adik perempuan dan adik laki-laki. Nah, kalo mau cari kata-kata bijak maupun kata-kata galau, Inas tempatnya. Suka koleksi quote-quote gitu. Warna kesukaannya sama kayak aku. Hijau. Iya, hijau memang indah. Kadang lucu lihat tampang inas kalo lagi khawatir sama temen-temennya. Tapi menyenangkan ketika dikhawatirkan. Inas sama kayak Yona, partner aku buat nonton konser Sheila On 7.
Aku kakak termuda dari anak-anak alay. Kakak dari inas dan adik dari mereka semua. Dulu sih dipanggil ‘tante’, tapi sekarang ‘mak’, diambil dari nama ‘ismak’. Ya walaupun aku yang paling nyebelin karena sering pasang muka ‘bete’ dan kelakuan nyebelin lain-lainnya (maaf ya gais), tapi aku sayang kalian kok.  ^^
Pada intinya, kisah cinta kita bertujuh juga gak jauh berbeda. Karena itu setiap orang bisa jadi ‘mangsa empuk’ buat dibully. Gantian proses ‘pem-bully-an’. Entah mungkin ada kenikmatan dan kebahagian tersendiri saling lempar ledekan dan tawa tentang kisah cinta kita yang gak pernah mulus. Tapi kita semua sama. Meskipun sama-sama suka saling mem-bully, aslinya kita gak akan terima kalo salah satu dari kita tersakiti, apalagi karena cowok.


-Si ai en tei ei-

Ada secuil kebahagiaan kecil yang terpaut di hati ketika butiran lembut dari langit tumpah dengan bebasnya. Pikiran tentang cinta menyeruak jauh ke dalam lubuk hati bersama jatuhnya hujan yang menghantam ke dasar bumi.
Kali ini saat hujan turun, bolehkah aku membahas cinta?
Pernah gak sih, ngerasa semangat banget karena seseorang? Meskipun dia gak pernah tahu kalo dia alasan kita untuk semangat?
Pernah gak sih, tiba-tiba ngerasa bahagia aja kalo inget sosok dia? Walaupun dia berada jauh di sana, rasanya dia selalu dekat.
Pernah gak sih, ngerasa bangga banget sama prestasi dia? Meskipun itu semua gak ada hubungannya dengan kita. Kagum aja dengan apa yang dia lakukan.
Pernah gak sih, percaya banget sama seseorang? Seburuk apapun orang lain berkata tentang dia, tapi kita tetap percaya bahwa dia orang baik.
Pernah gak sih, ngerasa yakin banget sama seseorang? Yakin kalo dia juga ada rasa yang sama dengan kita. Yakin kalo kelak kita akan bersatu dengan dia.
Pernah gak sih, suka sama seseorang tapi kita gak pernah tahu cara mengungkapkan dan menunjukkan rasa itu ke dia? Alih-alih sayang, tapi malah sifat ‘jutek’ dan ‘cuek’ yang keluar.
Pernah gak sih, suka sama seseorang tapi justru menunjukkan rasa suka itu ke orang lain?  Suka sama dia tapi kita justru menjalani hubungan dengan orang lain? Sakit gak sih?
Pernah gak sih, ngerasa bersalah sama seseorang? Rasa bersalah yang mendalam? Bersalah karena udah nyakitin dia, buat dia sedih atau bahkan buat dia kecewa.
Pernah gak sih, merasa menyesal dengan apa yang telah kita lakukan? Menyalahkan diri sendiri dengan apa yang sudah terjadi? ‘Seandainya dulu aku gak kayak gitu’ Seandainya, seandainya dan seandainya.
Pernah gak sih, kecewa sama seseorang? Apakah benar dia seperti yang kamu kagumi selama ini?
Pernah gak sih, ngerasa sakit karena seseorang? Sakit kalo lihat dia dengan orang lain, sakit kalo tahu dia suka sama orang lain.
Pernah gak sih ngerasain semua itu dengan orang yang sama? Berkali-kali, berhari-hari, bertahun-tahun dan bertubi-tubi.
Pernah gak sih, berfikir untuk membuka hati untuk orang lain dan berfikir mungkin memang dia bukan yang terbaik. Tapi pada akhirnya kamu bertahan.
Salahkah jika kita mengagumi seseorang? Bahkan jika orang tersebut sudah menjalani hubungan dengan orang lain?
Salahkah perasaan yang selalu satu arah?
Sebenarnya cinta itu apa? Setiap orang punya pandangannya sendiri tentang cinta. Apakah cinta itu berubah-ubah? Apakah benar ini cinta ataukah hanya nafsu dan ambisi semata?
Satu hal yang selalu aku yakini tentang cinta. Cinta itu ikhlas, dan sumpah ikhlas itu gak mudah. Belajarnya pun seumur hidup.
Teorinya aku selalu paham, final dari kisah cinta dua insan manusia adalah pernikahan. Jodoh sudah diatur oleh Sang Maha Cinta. Jodoh tidak akan tertukar. Jika memang berjodoh, pasti akan bersatu. Pun jika tidak, sudah pasti akan mendapatkan yang terbaik. Aku selalu tahu itu. Tetapi sekali lagi, ikhlas itu tidak mudah.
Tetapi mungkin memang sudah sepatutnya aku memperbaiki niat. Semangat bukan karena orang lain. Memperbaiki diri bukan karena orang lain. Tapi semua memang untuk kebaikan diri sendiri.
Allah lah yang dapat membolak-balikkan hati ini. Pun perasaan ini adalah titipan yang diberikan oleh Sang Maha Cinta. Aku tidak akan pernah tahu bagaimana perasaanku kedepannya. Apakah rasa ini akan tetap sama ataukah akan digantikan dengan perasaan yang baru.
Bagaimanapun, aku akan tetap memilih untuk sendiri. Sampai suatu saat seseorang (entah siapa) siap untuk menghalalkan ku. Siap menjadi imam dan selalu membimbingku dalam kebaikan. Kapanpun itu.

Semoga prinsip ini tetap kokoh dan tidak goyah. Sudah terlalu banyak kesalahan yang telah aku lakukan. Aku selalu berharap yang terbaik untuk semua orang-orang yang aku sayangi. Pun aku selalu berharap yang terbaik untuknya.

Senin, 04 Januari 2016

-21 tahun 29 hari-

Mungkin terkadang kita lupa untuk bersyukur, malas untuk berserah dan terlalu sombong untuk meminta.
Ribuan kali ibu bilang, ‘sudah tahu kan, berharap dengan manusia itu sakit, nak? Maka, berharaplah kepada Allah, bukan kepada manusia. Dia-lah tempatmu meminta.’
Jutaan kali ayah bilang, ‘semakin banyak kamu meminta kepada manusia, ada masanya manusia akan malas bahkan marah jika kamu mintai terus. Beda hal nya dengan kamu meminta kepada Allah, nak. Semakin kamu meminta kepada Allah, maka Allah semakin senang. Minta lah apupun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah.’
Allah-lah yang paling tahu dan paling mengerti, apa yang terbaik untuk umat-Nya. Allah selalu baik kepada setiap makhluk, entah itu umat-Nya ataupun bukan.
“Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
Ibu selalu bilang, ‘jika apa yang kamu inginkan tidak sesuai dengan harapan, tandanya itu bukan yang terbaik untukmu, nak. Maka, minta lah apa yang kamu butuhkan, bukan apa yang kamu inginkan. Allah sedang menyiapkan yang terbaik untukmu.’
Ibu benar. Rasanya aku terlalu ‘ngotot’ dan ‘ambisius’. Padahal bukankah hidup kita sudah diatur oleh Sang Pencipta. Seperti kata Pak Dimhari, Direktur Yayasan tempatku mengajar, beliau bilang:
“Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini, mbak. Semua sudah ada yang mengatur. Ikuti saja aturannya.”
Ayah kan sudah bilang, ‘mempunyai ambisi yang besar memang bagus, tetapi juga harus tahu bagaimana kemampuan diri.’
Aku sadar, semua yang aku lalui bukanlah apa-apa jika bukan karena restu dan do’a kedua orang tua.
Aku (baru) sadar. Di setiap perjalanan hidup yang aku lalui, (selalu) dipermudah. Meskipun pada awalnya terlihat banyak rintangan. Tetapi justru karena rintangan dan kerikil kecil itulah justru membuat semua lebih mudah.
Contoh kecil saja, baru kemarin rasanya aku lelah dengan skripsiku yang perjalanannya ke sana kemari. Berkali-kali gantu judul, menunggu, gagal dan lain sebagainya. Tetapi justru perjalanan itulah yang mengantarkanku pada kemudahan.
Jika dipikir-pikir, skripsi ini seakan menemukan ‘jati diri’ dengan sendirinya. Menyusun prosedur dengan sendirinya. Aku (baru) sadar, ini semua Allah yang mengatur.
Bayangkan saja, masalah skripsi yang aku jalani yang awalnya (mungkin) carut-marut, berpetualang melalang-buana, kekurangan pasien, pada akhirnya aku diizinkan mengganti metode dan parameter yang (jauh) lebih mudah dan cepat.
Skripsi ku pada awalnya dengan cara yang njelemit, mengikuti perkembangan penyakit pasien selama minimal tiga bulan pengobatan dengan pasien ya paling tidak 50 pasien, yang sangat sulit mendapatkan pasien apalagi mendapatkan data. Sekarang pada akhirnya aku diperbolehkan mengganti metode dan parameter hanya melihat Rekam Medis yang memang data sudah ada karena dalam satu bulan lalu aku hanya memperoleh dua pasien. Jalan Allah selalu lebih indah.
Aku tidak tahu hal indah apa (lagi) yang sedang Allah siapkan untukku kelak. Apakah Allah akan mempercepat kelulusan ku atau tidak. Karena saat ini aku memang sedang memiliki satu masalah di kampus. Kuliah ‘sertifikasi 3’.
Kuliah ini hanya nol sks, tetapi menjalani nya hampir sama dengan kuliah dua sks. Masuk kuliah setiap minggu selama dua jam dan sebanyak empat belas kali pertemuan, kemudian dilakukan ujian. Kedengarannya sepele, tapi jangan remehkan kuliah ini. Sertifikasi 3 adalah kuliah yang mempelajari tentang ‘kemuhammadiyah-an’. Iya, aku kuliah di Universitas Swasta, Muhammadiyah. Di Universitas Muhammadiyah seperti kampusku memang sedikit berbeda dibandingkan Universitas umum lainnya. Disini diwajibkan mengikuti kuliah sertifikasi. Mulai dari sertifikasi 1 yang mempelajari tentang mengaji, sertifikasi 2 tentang akhlak, sertifikasi 3 tentang muhammadiyah sampai sertifikasi 4 tentang dakwah. Semua sama, hanya memiliki bobot nol sks dan tidak mempengaruhi nilai IPK. Tapi jika mahasiswa belum lulus dalam kuliah sertifiksi, jangan harap bisa lulus dari Universitas.
Setiap semester selalu ada kuliah sertifikasi seperti ini. Pada semester genap diadakan sertifikasi 1 ataupun sertifikasi 3 sedangkan pada semester ganjil diadakan sertifikasi 2 ataupun sertifikasi 4. Sebenarnya setiap semester aku sudah mengikuti semua matakuliah sertifikasi. Nilai juga Alhamdulillah baik, mendapat grade ‘A’ dan ‘B’. Tetapi khusus untuk setifikasi 3 aku mendapat nilai ‘D’. Saat itu karena aku tidak ikut ujian akhir semester, karena alfa ku sudah lebih dari batas maksimal. Bukan karena aku malas kuliah, tetapi karena pada saat kuliah berlangsung, bersamaan dengan aku sedang  melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Saat itu sekali masuk kuliah, dosen meminta untuk tanda tangan langsung 3 kali dan dianggap sudah melaksanakan tiga kali pertemuan. Sedikitpun aku tidak menyalahkan KKN. Aku pun sudah mengganti kuliah itu dengan masuk kelas lain dengan mata kuliah yang sama, tetapi tetap saja aku tidak diizinkan tanda tangan. Bolosku sudah lebih dari 4 kali saat itu, karena sebelumnya aku memang pernah tidak masuk (juga karena bertabrakan dengan KKN). Alhasil memang sama sekali tidak diizinkan untuk ujian dan pasrah mendapat nila ‘D’.
Benar kata ayah, jangan remehkan hal kecil, nak. Kamu tidak akan tahu mungkin suatu saat hal kecil itu akan menjadi besar. Bukankah hal-hal besar memang berasal dari hal kecil sebelumnya?
Saat ini aku sudah berada di ujung semester tujuh dan sedang melakukan penelitian skripsi. Bisa dibilang semester depan aku sudah bebas teori, hanya lulus lagi. Tetapi sekali lagi, aku tidak akan diluluskan jika masalah sertifikasi ini belum selesai. Bukan berarti aku tidak ‘mengurusi’ masalah sertifikasi ini. Sejak semester 6 lalu pun aku sudah kesana-kemari meminta kebijakan. Tetapi memang tidak ada kebijakan. Aku harus menunggu tahun depan ketika mata kuliah itu diadakan lagi dan mengulang selama satu semester. Ya, mau tidak mau aku harus menyelesaikan kuliah nol sks ini selama satu semester.
Diakhir semester ini aku sudah meminta kebijakan (lagi) dari pihak fakultas mengenai masalah ini. Akhirnya fakultas memberikan surat pengantar untuk mengizinkanku mengikuti ujian khusus dengan nilai maksimal C. Tidak masalah hanya mendapat nilai maksimal C, yang penting lulus. Hanya saja masalah nya dosen pengampu mata kuliah ini bukan dari fakultas ku sendiri, melainkan dari fakultas seberang, Fakultas Agama Islam.

Harapanku satu, dosen pengampu memberi kebijakan dan kesempatan untukku mengikuti ujian. Jika pun pada akhirnya tidak ada kebijakan dan aku harus mengulang satu semester ini. ya sudahlah. Sekali lagi, mungkin itu yang terbaik. Mungkin itu jalan yang Allah berikan yang terbaik. Sungguh, ikhlas itu memang tidak mudah. Kuliah satu semester untuk nol sks. Tetapi aku bisa banyak belajar dari sini. Jangan pernah remehkan sesuatu yang (menurutmu) sepele.

21 tahun 29 hari

Minggu, 03 Januari 2016

-Namanya Dhani-

Namanya Dhani. Dhani Rinaldi Maulana. Pria unik yang sulit ditebak. Yang aku tahu, hobinya membaca dan menonton. Tetapi bacaan dan tontonannya tidak seperti lelaki kebanyakan. Seorang kutu buku dan menyukai bacaan filsafat. Kata teman-temannya, tontonan yang ia sukai sejenis film misteri atau film horror luar negeri dan semacamnya.
Namanya Dhani. Lelaki kelahiran 20 agustus. Anak pertama dari dua bersaudara. Adiknya perempuan, kurang lebih empat tahun di bawahnya. Dia sangat menyayangi adiknya. Dengan wibawanya sebagai seorang kakak, Dhani hampir tidak pernah bertengkar dengan adiknya. Mungkin sangat beruntung memiliki seorang kakak seperti Dhani.
Namanya Dhani. Seorang kutu buku. Semester-semester awal nilainya selalu tinggi dan mendapat IP Cumlaude. Tetapi semakin naiknya semester, semakin dia mencoba hal lain di luar kuliah, seperti berorganisasi, nilai nya semakin menurun.  Bukan karena dia tidak mampu, tetapi karena dia sibuk.
Entah dia menjadi anggota BEM maupun UKM dan lain sebagainya. Mungkin karena memang Dhani sesosok yang profesional, sehingga dia totalitas dalam satu hal yang diembannya. Ada saja mata kuliah yang tidak bisa ia ikuti ujian. Sekali lagi bukan karena ia tidak mampu, tetapi karena sibuk berorganisasi. Kesibukannya mempengaruhi nilai akademisnya di kampus. Bukan mempengaruhi kecerdasannya, tapi kesibukannya mempengaruhi intensitas kehadirannya di kelas. Dhani tetap cerdas, hanya saja dia tidak diizinkan untuk ikut ujian karena bolosnya sudah melebihi jatah maksimal. Tapi, itulah uniknya Dhani. Apapun yang ia lakukan, apapun masalahnya, tidak pernah ia terlihat ada masalah.
Namanya Dhani. Sesosok lelaki yang cool. Saking cool-nya, teh panas yang dia minum bisa ikut berubah menjadi dingin. Sedingin Dhani.
Namanya Dhani. Lelaki pecinta puisi. Ketika Dhani merangkai kata, mungkin aku sulit memahami kata-katanya, sesulit memahami Dhani. Tetapi Dhani selalu bisa menepatkan diri, kapan dia harus berbicara ringan, kapan dia harus mengeluarkan banyak pengetahuan yang ia miliki.
Aku memang tidak banyak tahu tentang Dhani. Satu hal yang pasti, Dhani itu unik.
Namanya Dhani, dan dia punya ke-unik-an nya sendiri.

- Entahlah -

Bolehkah aku sedih, kecewa, bahkan marah? Bolehkah aku menyesal? Tapi satu hal yang pasti, aku tidak boleh menyerah. Aku hanya ingin  menulis sedikit pengalaman awal menuju ‘skripsi’. Mungkin kelak ini akan menjadi kenangan indah dari salah satu perjuangan.
Bagi seorang mahasiswi tingkat akhir seperti ku, mungkin memang semua terasa menjemukan. Bosan. Ingin rasanya segera lulus.
Aku tahu ini barulah awal. Kedepannya akan banyak tantangan yang lain lagi. Tetapi, bukankah hidup memang adalah tentang awal. Setiap satu hal terselesaikan, hal lainnya siap menunggu untuk diselesaikan. Pun jika ini semua selesai, maka akan ada awal yang baru (lagi).
Orang bijak bilang. Tak usah lah kau melirik rumput tetangga yang (kelihatannya) lebih hijau. Tapi bagiku rumput tetangga memang (sedikit lebih) hijau.
Awal liburan semester 6 masuk semester 7, aku sudah berfikir tentang skripsi. Sudah ku relakan masa liburanku di rumah hanya berkutat dengan menghubungi dosen sana-sini untuk mencari proyek dosen. Harapannya, jika aku ikut proyek dosen, aku bisa memulai penelitian lebih dulu meskipun belum seminar proposal. Selain itu jika aku mengikuti proyek, aku tidak merasa sendirian. Ada rekan lain sebagai tim dalam proyek. Hanya satu minggu di rumah, aku buru-buru kembali ke Jogja dan cari proyek dosen secara langsung. Padahal liburan semester masih satu bulan.
Setelah beberapa hari bolak-balik kampus, akhirnya aku mendapatkan proyek yang aku inginkan sesuai harapan. Penelitian klinis di Rumah Sakit. Aku sangat antusias saat dosen bersedia bekerja sama denganku untuk menyelesaikan proyek penelitian ini. Aku harap, aku bisa maksimal menjalankan proyek ini bersama rekanku, Eryona.
Tetapi setiap harapan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Berita mengenai aku mendapatkan proyek klinis tersebar di beberapa teman yang juga sedang mencari proyek dosen. Berita dari mulut ke mulut mengenai proyek klinis ini semakin tidak bisa di bendung. Mereka bagaikan air bah yang tumpah, semakin lama semakin ramai yang membicarakan proyek ini. Tiba-tiba aku mempunyai firasat buruk. Ada sedikit perasaan khawatir di hati. Ah, mungkin aku terlalu khawatir.
Tapi apalah daya ketika kekhawatiranku menjadi kenyataan. Mereka berbondong-bondong menghubungi dosen yang bersangkutan dan dengan terang-terangan ingin bekontribusi dalam proyek ini. Aku harap kehadiran mereka tidak mengganggu proyek(ku). Aku yang pertama mengikuti proyek ini, aku yang pertama mendapat persetujuan dosen mengenai proyek ini. Aku yakin aku bisa lanjut dengan proyek ini dengan baik.
Tapi ternyata aku salah, semakin banyak mahasiswa datang yang ingin mengambil proyek ini. Sekitar belasan mahasiswa mencari dosen (proyekku) untuk ikut mendaftar. Sedangkan proyek ini hanya membutuhkan empat mahasiswa. Pada akhirnya dosen memberi kebijakan untuk diadakan seleksi nilai. Tentu nilai ku kalah dibandingkan dengan mereka yang IPK-nya cumlaude. Nilaiku bukanlah apa-apa. IPK-ku masih bertahan menyentuh nilai 3 saja aku sudah bersyukur.
Pada akhirnya aku tersingkir dari proyek(ku) sendiri. Proyek penelitian yang sangat aku harapkan sejak awal. Dari sekian banyak proyek dosen, kenapa harus aku yang tersingkirkan diproyek(ku)? Justru aku dan Eryona yang pada akhirnya pergi dari proyek ini.
Begitu banyak proyek dosen, begitu banyak mahasiswa yang masih mengikuti proyek dosen lain yang bahkan IP mereka (maaf) di bawah nilai 3. Lalu kenapa harus proyek ini yang mereka kejar? Kenapa harus aku?
Sungguh, rasa sakit itu masih terasa. Tapi di sinilah aku harus belajar ikhlas. Tidak ada yang bisa kusalahkan di sini. Mungkin ini bukan jalanku. Mungkin ini bukan yang terbaik untukku.
Hidup harus maju bagaimana pun caranya. Aku berfikir untuk judulku (sendiri) yang baru. Meskipun aku belum siap untuk maju sendirian. Karena aku benci sendirian. Aku benci melakukan semua hal tanpa ada seseorang di sampingku. Sedangkan proyek? Aku punya rekan lain yang bisa mengambil data.
Pada akhirnya aku putuskan untuk mengambil skripsi berkelompok, tetap dengan rekan seperjuanganku. Eryona. Rekan proyek (dulu) yang akhirnya sama-sama tersingkir dari proyek. Rekan yang sama-sama merelakan waktu liburan hanya untuk sekadar proyek. Ah sudahlah. Berhenti membahas proyek itu. Paling tidak aku masih punya rekan dan aku tidak sendirian.
Waktu berlalu, aku mengajukan judul skripsi baru dan dosen pembimbing baru, beruntungnya tanpa menunggu waktu lama aku langsung mendapatkan acc dari pihak fakultas. Aku harap aku bisa fokus dengan judul skripsi (baru) ini. Harapannya, cepat maju seminar proposal.
Tapi lagi-lagi, mungkin ini bukan yang terbaik untukku. Setelah aku menyelesaikan proposal awal penelitian bab 1 sampai bab 3, ternyata ada pertimbangan lain dari judul skripsi ku. Dikhawatirkan data yang akan aku ambil akan bias jika lanjut penelitian ini, atau penelitian ini akan memakan dana yang sangat mahal.
Singkat cerita, aku harus ganti judul baru (lagi). Memikirkan judul (lagi), membuat proposal skripsi (lagi). Tapi semangatku tidak berhenti di sini. Ini saja belum berawal, bagaimana mungkin aku bisa berhenti?
Beberapa waktu aku memikirkan judul skripsi (baru). Beruntungnya judul baru ku segera mendapat acc dari dosen pembimbing. Tanpa membuang waktu, kugarap proposal skripsi secepatnya. Dengan setia aku selalu menghubungi dosen pembimbing untuk bimbingan dan revisi terus menerus.
Setelah empat kali revisi, akhirnya aku siap untuk maju seminar proposal. Prosesku menuju seminar proposal terbilang cepat dibandingkan teman-teman. Terutama jika dilihat dari proses yang kujalani.
Aku rela tidak menghadiri wisuda kakakku satu-satunya saat itu demi maju seminar. Aku harap pengorbananku tidak ada yang sia-sia.
Sedikitpun, aku tidak merasa bangga karena aku seminar lebih dulu dibandingkan teman-teman dekatku. Karena aku tahu, ini baru awal (lagi). Aku seminar lebih dulu, belum tentu aku akan sidang dan lulus lebih dulu daripada mereka.
Setelah seminar, buru-buru aku revisi proposal dan menyiapkan surat pengantar di Rumah Sakit. Tetapi prosesku disini juga tidak mudah. Tanggal 11 desember aku sudah memasukkan surat izin dan proposal ke Rumah sakit. Petugas rumah sakit bilang, aku harus kembali minggu depan untuk melunasi administrasi.
Tanggal 18 desember aku kembali ke Rumah Sakit yang dituju, tapi ternyata aku disarankan untuk mengurus administrasi di Rumah Sakit Unit 2 di Kabupaten. Perjalanan ku lalui ke kabupaten menuju Rumah Sakit Unit 2, dan ternyata sesampainya di sana, proposal dan surat izin-ku masih mereka tinggal di Rumah Sakit Pusat di Kota. Demi apa, aku harus menunggu lagi sampai siang hari. Sabar aku menunggu, mungkin disini letak menyenangkannya. Menunggu.
Akhirnya proposal dan surat izinku siap di Rumah Sakit Unit 2. Aku kembali mengurus administrasi. Tetapi lagi-lagi keberuntungan belum berada di pihak ku. Petugas litbang tiba-tiba bilang akan mengambil cuti akhir tahun. Aku harus menunggu satu minggu lagi untuk menyelesaikan masalah administrasi.
28 Desember aku kembali ke Rumah Sakit Unit 2 di kabupaten. Sekali lagi, mereka belum memproses surat yang ku ajukan. Alasannya tidak sempat, karena kemarin cuti. Aku diminta kembali satu minggu lagi.
Aku kembali 2 Januari 2016. Lagi, lagi dan lagi, surat izin penelitian ku belum keluar dari Rumah Sakit. Emosi ku sedikit memuncak saat itu. Harus berapa lama lagi aku menunggu? Kudesak terus petugas riset dan pengembangan, aku bolak-balik menemui petugas-petugas lain untuk menyelesaikan administrasi penelitianku.
Alhamdulillah, berjam-jam aku menunggu tidaklah sia-sia. Entah karena petugas merasa kasihan kepada ku atau bagaimana, akhirnya aku mendapatkan surat pengantar penelitian.
Dengan semangat aku kembali ke Rumah Sakit Pusat di Kota, siap menemui dokter dan apoteker bersangkutan. Mungkin di sini kesabaranku diuji (lagi). Subjek penelitian ku ternyata kurang. Aku butuh pasien yang masuk kriteria inklusi minimal 50 pasien per bulan, dan waktu penelitian ku minimal 3 bulan. Sedangkan pasien selama bulan desember 2015 lalu, hanya ada 2 orang.
Satu bulan aku setia menunggu keluarnya surat pengantar untuk menemui dokter, tetapi pada akhirnya aku hanya mendapatkan sebuah saran dari dokter untuk mengganti penelitian.
Penyakit dalam penelitianku memang langka. Pun dokter di rumah sakit ini menyarankan agar aku mengganti parameter penelitian ku. Jika aku ingin bertahan meneliti penyakit ini, solusi yang paling memungkinkan adalah aku mengambil data penelitian minimal satu tahun kebelakang yang memang sudah pasti ada pasien nya (meskipun sedikit). Tapi itu tidak mungkin, data kebelakang dengan kriteria inklusi yang sama adalah data penelitian yang akan diambil Eryona, rekan ku sendiri. Karena sejak awal, penelitianku dan Eryona memang mirip. Kami sepakat untuk berbagi, aku mengambil data bulan-bulan ke depan dengan mengikuti pasien dan Eryona mengambil data satu tahun ke belakang dengan penyakit yang sama dan Rumah Sakit yang sama.
Aku bisa saja jahat untuk mengambil data penelitian satu tahun ke belakang yang seharusnya milik Eryona. Toh dia belum mulai administrasi perizinan di Rumah Sakit.
Sumpah demi apapun, aku tidak akan tega mengambil subjek penelitian sahabatku sendiri dan menghancurkan penelitiannya. Aku tidak akan seburuk itu.
Justru Eryona adalah salah satu semangatku bisa terus maju dalam penelitian. Seorang rekan yang setia dan selalu saling membantu.
Otakku sangat kacau saat itu dan belum bisa berfikir jernih. Pelan-pelan aku berjalan menelusuri kota Jogja. Entah, rasanya seperti merasa sendirian di sudut-sudut kota Jogja yang ramai di tahun baru. Tidak terasa butiran lembut jatuh  membasahi pipi. Kelopak mata ini tidak tahan rasanya menampung butiran yang ingin tumpah. Aku menangis sekenanya. Mungkin karena aku masih punya hati, jadi aku menangis. Entahlah.
Perlahan rintik hujan mulai turun. Langit seakan tahu kalau aku sedang bersedih. Air seakan berlomba untuk turun, dari mataku juga dari langit. Rasanya aku ingin mengutuk hujan. Kenapa hujan datang seolah membuat perjalanan ku semakin dramatis.
Astaghfirullah. Tidak seharusnya aku bersedih, tidak seharusnya aku membenci hujan. Bukankah hujan adalah anugerah? Hujan adalah rejeki yang patut disyukuri, dan ketika hujan turun adalah waktu yang tepat untuk bemunajat kepada-Nya. Memohon apapun dari Sang Maha Pemurah.
Hujan datang disaat yang tepat. Di waktu yang seharusnya aku tidak boleh jatuh, tidak boleh mengeluh. Jernihnya air hujan mengingatkan untuk selalu berfikir jernih. Aku percaya, tidak akan ada pelangi jika tidak ada turunnya hujan.
Rencana hebat apa yang sedang Tuhan persiapkan untukku kelak?
Awal 2016. Awal yang baru lagi. Aku belum tahu bagaimana selanjutnya perjalananku.
Jika pada akhirnya aku harus mengubah skripsi atau bahkan aku harus seminar (lagi). Aku siap jika itu yang terbaik.
Aku menulis ini bukan berarti aku mengeluh. Aku yakin, banyak orang yang perjalanan nya lebih berat daripada aku. Aku menulis ini hanya sebagai dokumentasi yang aku deskripsikan. Dokumentasi yang aku simpan dalam bentuk tulisan. Jika nanti aku menyelesaikan studi ini, aku masih memiliki tulisan ini yang akan aku baca dan aku syukuri, memori perjalanan awal ini akan muncul dan menari lagi dipikiran.

Aku hanya tidak ingin melupakan setiap perjalanan dan setiap kenangan. Karena setiap hal yang aku lalui itu berharga, baik maupun buruknya.