Bolehkah aku sedih,
kecewa, bahkan marah? Bolehkah aku menyesal? Tapi satu hal yang pasti, aku
tidak boleh menyerah. Aku hanya ingin
menulis sedikit pengalaman awal menuju ‘skripsi’. Mungkin kelak ini akan
menjadi kenangan indah dari salah satu perjuangan.
Bagi seorang mahasiswi
tingkat akhir seperti ku, mungkin memang semua terasa menjemukan. Bosan. Ingin rasanya
segera lulus.
Aku tahu ini barulah
awal. Kedepannya akan banyak tantangan yang lain lagi. Tetapi, bukankah hidup
memang adalah tentang awal. Setiap satu hal terselesaikan, hal lainnya siap
menunggu untuk diselesaikan. Pun jika ini semua selesai, maka akan ada awal
yang baru (lagi).
Orang bijak bilang. Tak
usah lah kau melirik rumput tetangga yang (kelihatannya) lebih hijau. Tapi bagiku
rumput tetangga memang (sedikit lebih) hijau.
Awal liburan semester 6
masuk semester 7, aku sudah berfikir tentang skripsi. Sudah ku relakan masa
liburanku di rumah hanya berkutat dengan menghubungi dosen sana-sini untuk
mencari proyek dosen. Harapannya, jika aku ikut proyek dosen, aku bisa memulai
penelitian lebih dulu meskipun belum seminar proposal. Selain itu jika aku
mengikuti proyek, aku tidak merasa sendirian. Ada rekan lain sebagai tim dalam
proyek. Hanya satu minggu di rumah, aku buru-buru kembali ke Jogja dan cari
proyek dosen secara langsung. Padahal liburan semester masih satu bulan.
Setelah beberapa hari
bolak-balik kampus, akhirnya aku mendapatkan proyek yang aku inginkan sesuai
harapan. Penelitian klinis di Rumah Sakit. Aku sangat antusias saat dosen
bersedia bekerja sama denganku untuk menyelesaikan proyek penelitian ini. Aku harap,
aku bisa maksimal menjalankan proyek ini bersama rekanku, Eryona.
Tetapi setiap harapan tidak
selalu sesuai dengan kenyataan. Berita mengenai aku mendapatkan proyek klinis
tersebar di beberapa teman yang juga sedang mencari proyek dosen. Berita dari
mulut ke mulut mengenai proyek klinis ini semakin tidak bisa di bendung. Mereka
bagaikan air bah yang tumpah, semakin lama semakin ramai yang membicarakan
proyek ini. Tiba-tiba aku mempunyai firasat buruk. Ada sedikit perasaan
khawatir di hati. Ah, mungkin aku terlalu khawatir.
Tapi apalah daya ketika
kekhawatiranku menjadi kenyataan. Mereka berbondong-bondong menghubungi dosen
yang bersangkutan dan dengan terang-terangan ingin bekontribusi dalam proyek
ini. Aku harap kehadiran mereka tidak mengganggu proyek(ku). Aku yang pertama
mengikuti proyek ini, aku yang pertama mendapat persetujuan dosen mengenai
proyek ini. Aku yakin aku bisa lanjut dengan proyek ini dengan baik.
Tapi ternyata aku
salah, semakin banyak mahasiswa datang yang ingin mengambil proyek ini. Sekitar
belasan mahasiswa mencari dosen (proyekku) untuk ikut mendaftar. Sedangkan proyek
ini hanya membutuhkan empat mahasiswa. Pada akhirnya dosen memberi kebijakan
untuk diadakan seleksi nilai. Tentu nilai ku kalah dibandingkan dengan mereka
yang IPK-nya cumlaude. Nilaiku bukanlah apa-apa. IPK-ku masih bertahan
menyentuh nilai 3 saja aku sudah bersyukur.
Pada akhirnya aku
tersingkir dari proyek(ku) sendiri. Proyek penelitian yang sangat aku harapkan
sejak awal. Dari sekian banyak proyek dosen, kenapa harus aku yang tersingkirkan
diproyek(ku)? Justru aku dan Eryona yang pada akhirnya pergi dari proyek ini.
Begitu banyak proyek
dosen, begitu banyak mahasiswa yang masih mengikuti proyek dosen lain yang
bahkan IP mereka (maaf) di bawah nilai 3. Lalu kenapa harus proyek ini yang
mereka kejar? Kenapa harus aku?
Sungguh, rasa sakit itu
masih terasa. Tapi di sinilah aku harus belajar ikhlas. Tidak ada yang bisa
kusalahkan di sini. Mungkin ini bukan jalanku. Mungkin ini bukan yang terbaik
untukku.
Hidup harus maju
bagaimana pun caranya. Aku berfikir untuk judulku (sendiri) yang baru. Meskipun
aku belum siap untuk maju sendirian. Karena aku benci sendirian. Aku benci
melakukan semua hal tanpa ada seseorang di sampingku. Sedangkan proyek? Aku punya
rekan lain yang bisa mengambil data.
Pada akhirnya aku putuskan
untuk mengambil skripsi berkelompok, tetap dengan rekan seperjuanganku. Eryona.
Rekan proyek (dulu) yang akhirnya sama-sama tersingkir dari proyek. Rekan yang
sama-sama merelakan waktu liburan hanya untuk sekadar proyek. Ah sudahlah. Berhenti
membahas proyek itu. Paling tidak aku masih punya rekan dan aku tidak
sendirian.
Waktu berlalu, aku mengajukan
judul skripsi baru dan dosen pembimbing baru, beruntungnya tanpa menunggu waktu
lama aku langsung mendapatkan acc
dari pihak fakultas. Aku harap aku bisa fokus dengan judul skripsi (baru) ini. Harapannya,
cepat maju seminar proposal.
Tapi lagi-lagi, mungkin
ini bukan yang terbaik untukku. Setelah aku menyelesaikan proposal awal
penelitian bab 1 sampai bab 3, ternyata ada pertimbangan lain dari judul
skripsi ku. Dikhawatirkan data yang akan aku ambil akan bias jika lanjut
penelitian ini, atau penelitian ini akan memakan dana yang sangat mahal.
Singkat cerita, aku
harus ganti judul baru (lagi). Memikirkan judul (lagi), membuat proposal
skripsi (lagi). Tapi semangatku tidak berhenti di sini. Ini saja belum berawal,
bagaimana mungkin aku bisa berhenti?
Beberapa waktu aku
memikirkan judul skripsi (baru). Beruntungnya judul baru ku segera mendapat acc dari dosen pembimbing. Tanpa membuang
waktu, kugarap proposal skripsi secepatnya. Dengan setia aku selalu menghubungi
dosen pembimbing untuk bimbingan dan revisi terus menerus.
Setelah empat kali
revisi, akhirnya aku siap untuk maju seminar proposal. Prosesku menuju seminar
proposal terbilang cepat dibandingkan teman-teman. Terutama jika dilihat dari
proses yang kujalani.
Aku rela tidak
menghadiri wisuda kakakku satu-satunya saat itu demi maju seminar. Aku harap
pengorbananku tidak ada yang sia-sia.
Sedikitpun, aku tidak
merasa bangga karena aku seminar lebih dulu dibandingkan teman-teman dekatku. Karena
aku tahu, ini baru awal (lagi). Aku seminar lebih dulu, belum tentu aku akan sidang
dan lulus lebih dulu daripada mereka.
Setelah seminar,
buru-buru aku revisi proposal dan menyiapkan surat pengantar di Rumah Sakit. Tetapi
prosesku disini juga tidak mudah. Tanggal 11 desember aku sudah memasukkan
surat izin dan proposal ke Rumah sakit. Petugas rumah sakit bilang, aku harus
kembali minggu depan untuk melunasi administrasi.
Tanggal 18 desember aku
kembali ke Rumah Sakit yang dituju, tapi ternyata aku disarankan untuk mengurus
administrasi di Rumah Sakit Unit 2 di Kabupaten. Perjalanan ku lalui ke kabupaten
menuju Rumah Sakit Unit 2, dan ternyata sesampainya di sana, proposal dan surat
izin-ku masih mereka tinggal di Rumah Sakit Pusat di Kota. Demi apa, aku harus
menunggu lagi sampai siang hari. Sabar aku menunggu, mungkin disini letak
menyenangkannya. Menunggu.
Akhirnya proposal dan
surat izinku siap di Rumah Sakit Unit 2. Aku kembali mengurus administrasi. Tetapi
lagi-lagi keberuntungan belum berada di pihak ku. Petugas litbang tiba-tiba
bilang akan mengambil cuti akhir tahun. Aku harus menunggu satu minggu lagi
untuk menyelesaikan masalah administrasi.
28 Desember aku kembali
ke Rumah Sakit Unit 2 di kabupaten. Sekali lagi, mereka belum memproses surat
yang ku ajukan. Alasannya tidak sempat, karena kemarin cuti. Aku diminta kembali
satu minggu lagi.
Aku kembali 2 Januari
2016. Lagi, lagi dan lagi, surat izin penelitian ku belum keluar dari Rumah
Sakit. Emosi ku sedikit memuncak saat itu. Harus berapa lama lagi aku menunggu?
Kudesak terus petugas riset dan pengembangan, aku bolak-balik menemui
petugas-petugas lain untuk menyelesaikan administrasi penelitianku.
Alhamdulillah,
berjam-jam aku menunggu tidaklah sia-sia. Entah karena petugas merasa kasihan
kepada ku atau bagaimana, akhirnya aku mendapatkan surat pengantar penelitian.
Dengan semangat aku kembali
ke Rumah Sakit Pusat di Kota, siap menemui dokter dan apoteker bersangkutan. Mungkin
di sini kesabaranku diuji (lagi). Subjek penelitian ku ternyata kurang. Aku butuh
pasien yang masuk kriteria inklusi minimal 50 pasien per bulan, dan waktu
penelitian ku minimal 3 bulan. Sedangkan pasien selama bulan desember 2015
lalu, hanya ada 2 orang.
Satu bulan aku setia
menunggu keluarnya surat pengantar untuk menemui dokter, tetapi pada akhirnya aku
hanya mendapatkan sebuah saran dari dokter untuk mengganti penelitian.
Penyakit dalam
penelitianku memang langka. Pun dokter di rumah sakit ini menyarankan agar aku
mengganti parameter penelitian ku. Jika aku ingin bertahan meneliti penyakit
ini, solusi yang paling memungkinkan adalah aku mengambil data penelitian
minimal satu tahun kebelakang yang memang sudah pasti ada pasien nya (meskipun
sedikit). Tapi itu tidak mungkin, data kebelakang dengan kriteria inklusi yang
sama adalah data penelitian yang akan diambil Eryona, rekan ku sendiri. Karena sejak
awal, penelitianku dan Eryona memang mirip. Kami sepakat untuk berbagi, aku mengambil
data bulan-bulan ke depan dengan mengikuti pasien dan Eryona mengambil data
satu tahun ke belakang dengan penyakit yang sama dan Rumah Sakit yang sama.
Aku bisa saja jahat untuk
mengambil data penelitian satu tahun ke belakang yang seharusnya milik Eryona. Toh
dia belum mulai administrasi perizinan di Rumah Sakit.
Sumpah demi apapun, aku
tidak akan tega mengambil subjek penelitian sahabatku sendiri dan menghancurkan
penelitiannya. Aku tidak akan seburuk itu.
Justru Eryona adalah
salah satu semangatku bisa terus maju dalam penelitian. Seorang rekan yang
setia dan selalu saling membantu.
Otakku sangat kacau
saat itu dan belum bisa berfikir jernih. Pelan-pelan aku berjalan menelusuri
kota Jogja. Entah, rasanya seperti merasa sendirian di sudut-sudut kota Jogja
yang ramai di tahun baru. Tidak terasa butiran lembut jatuh membasahi pipi. Kelopak mata ini tidak tahan
rasanya menampung butiran yang ingin tumpah. Aku menangis sekenanya. Mungkin karena
aku masih punya hati, jadi aku menangis. Entahlah.
Perlahan rintik hujan
mulai turun. Langit seakan tahu kalau aku sedang bersedih. Air seakan berlomba
untuk turun, dari mataku juga dari langit. Rasanya aku ingin mengutuk hujan. Kenapa
hujan datang seolah membuat perjalanan ku semakin dramatis.
Astaghfirullah.
Tidak
seharusnya aku bersedih, tidak seharusnya aku membenci hujan. Bukankah hujan
adalah anugerah? Hujan adalah rejeki yang patut disyukuri, dan ketika hujan
turun adalah waktu yang tepat untuk bemunajat kepada-Nya. Memohon apapun dari
Sang Maha Pemurah.
Hujan datang disaat
yang tepat. Di waktu yang seharusnya aku tidak boleh jatuh, tidak boleh
mengeluh. Jernihnya air hujan mengingatkan untuk selalu berfikir jernih. Aku percaya,
tidak akan ada pelangi jika tidak ada turunnya hujan.
Rencana hebat apa yang
sedang Tuhan persiapkan untukku kelak?
Awal 2016. Awal yang
baru lagi. Aku belum tahu bagaimana selanjutnya perjalananku.
Jika pada akhirnya aku
harus mengubah skripsi atau bahkan aku harus seminar (lagi). Aku siap jika itu
yang terbaik.
Aku menulis ini bukan
berarti aku mengeluh. Aku yakin, banyak orang yang perjalanan nya lebih berat
daripada aku. Aku menulis ini hanya sebagai dokumentasi yang aku deskripsikan. Dokumentasi
yang aku simpan dalam bentuk tulisan. Jika nanti aku menyelesaikan studi ini, aku
masih memiliki tulisan ini yang akan aku baca dan aku syukuri, memori
perjalanan awal ini akan muncul dan menari lagi dipikiran.
Aku hanya tidak ingin
melupakan setiap perjalanan dan setiap kenangan. Karena setiap hal yang aku
lalui itu berharga, baik maupun buruknya.