Rabu, 28 Oktober 2015

Selamat hari sumpah pemuda ^^

Selamat hari sumpah pemuda 28 Oktober 2015 para pemuda/i Indonesia. Semoga kita generasi muda Indonesia memiliki rasa nasionalisme yang tinggi untuk Negara ini.
Nasionalisme? Di zaman modern saat ini, nasionalisme para pemuda/i Indonesia perlu menjadi sorotan. Membicarakan mengenai nasionalisme tidak terlepas dari bagaimana rasa idealisme para pemuda itu sendiri. Mahasiswa yang biasa disebut dengan agent of change saja, hanya beberapa persen mahasiswa dari seluruh total mahasiswa Indonesia yang memiliki idealisme tinggi. “Gak usah terlalu idealis lah jadi manusia. Segala sesuatu sesuai prosedur? Ribet. Realistis aja dengan situasi dan kondisi. Indonesia sudah terlalu ‘bobrok’ untuk dibenah. Kita yang idealis dan jujur, akan kalah dengan mereka yang berpikir realistis.”
Memang benar kita tidak bisa dengan mudah mengganti sistem, mengubah aturan dan menghapuskan kebiasaan buruk yang sudah terbentuk bertahun-tahun di Indonesia. Apalagi untuk merubah orang lain sesuai dengan keinginan kita. Impossible. Korupsi? Malas? Pengamen? Pengemis? Gelandangan? Pengangguran? Pencurian? Pembunuhan? Sudah menjadi hal yang wajar di Indonesia. Berita mengenai hal buruk Indonesia lebih mudah teringat di ingatan masyarakat dibandingkan berita baik. Pada akhirnya masyarakat hanya bisa menyalahkan pemerintah? Saya yakin, pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyejahterakan masyarakat. Karena memang tidak mudah menjadi pemerintah di pemerintahan yang korupsinya sudah terbentuk sebelumnya dan terus-menerus. Bahkan korupsi di Indonesia pun sering disebut sebagai ‘budaya’. Padahal pemerintah itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat. Karena itu kita memang harus cerdik dalam memilih pemimpin. Atau kita saja yang menjadi pemimpin suatu saat kelak, agar kita bisa merasakan bagaimana berkecimpung langsung dalam pemerintahan? Bagaimana harus menjadi pemimpin yang jujur, cerdik dan mengedepankan masyarakat.
Tapi jika menjadi pemimpin di pemeritahan tidak memungkinkan, kita bisa melakukannya dengan cara yang paling sederhana. Kita bisa memulainya dari diri sendiri dengan berusaha menjadi lebih baik. Bagaimana kepemimpinan akan baik jika masyarakatnya sendiripun tidak bisa menyayangi diri sendiri dan hanya bisa menyalahkan pemerintah? Masyarakat menyalahkan pemerintah yang korupsi.  Sedangkan pemerintah juga punya alasan tersendiri kenapa melakukan tindak korupsi.
“Masyarakat itu cuma bisa ngomong dan menyalahkan pemerintah yang korupsi, karena mereka tidak merasakan menjadi pemerintah. Seandainya saja mereka duduk di kursi yang saya tempati sekarang, kemungkinan besar mereka melakukan hal yang sama. Dulu ketika saya masih menjadi mahasiswa, saya juga sama seperti yang lainnya. Tidak suka tindakan korupsi, idealisme saya tinggi. Tapi ya lingkungan saya, realistis saja. Untuk menggapai jabatan ini banyak yang yang harus saya korbankan. Harus punya modal uang, tenaga dan waktu yang banyak. Sekarang saya duduk di kursi pemerintahan, kenapa harus saya sia-siakan.”
Di sinilah diperlukan adanya kerjasama dan saling dukung antara masyarakat dan pemerintah. Perlu diingat bahwa tidak semua pemerintah itu korupsi, meskipun sebagian besar memang iya. Disadari atau tidak, dikehidupan nyata sering kita jumpai korupsi kecil-kecilan. Misalnya korupsi waktu dengan datang terlambat kerja dan pulang lebih cepat tanpa alasan.
Yang dikhawatirkan adalah ketika pemerintahan dipimpin oleh orang-orang yang tidak berkompeten, orang-orang yang tidak memiliki akuntabilitas dan komitmen yang baik. Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alam dan banyak sumber daya manusia memiliki potensi untuk menyejahterakan Indonesia. Tapi masalahnya adalah, pemuda/i Indonesia yang memiliki potensi tersebut justru banyak yang putus sekolah. Salah satu alasannya adalah biaya. Memang biaya pendidikan sekarang sudah tidak sesulit zaman dahulu. Sekolah gratis, bantuan dari pemerintah, beasiswa dimana-mana. Lalu kenapa masih banyak yang putus sekolah? Sekali lagi, masalah biaya. Banyak orang tua yang masih beranggapan bahwa jangankan berfikir untuk biaya sekolah, untuk makan saja susah. Jika anak-anak mereka sekolah, lalu siapa yang membantu mereka mencari nafkah? Untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika pada akhirnya jadi pengangguran? Banyak sarjana yang menganggur, dan banyak  juga yang hanya lulus SD tetapi bisa menjadi sukses.
Alasan-alasan tersebut memang tidak bisa disalahkan. Memang benar banyak kita jumpai seperti itu. Pendidikan memang tidak menjamin kesuksesan, tetapi pendidikan adalah langkah awal untuk menggapai kesuksesan. Sarjana tetapi pengangguran? Saya sering tidak habis pikir, kenapa pengangguran masih ada? Padalah setiap pekerjaan itu sesungguhnya selalu ada jika kita mau mengerjakannya. Tetapi banyak yang tidak mau berusaha atau bahkan gengsi jika bekerja yang bukan diharapkannya. Mereka justru lebih mengedepankan rasa malu dan gengsi. Memangnya salah jika sarjana jadi tukang bakso, sarjana jadi cleaning service, sarjana jadi kasir atau sarjana jadi tukang roti bakar keliling dan lain sebagainya? Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal itu. Tapi ya malu, sekolah tinggi-tinggi sampai sarjana tapi kok cuma jadi cleaning service. Toh untuk jadi cleaning service tidak membutuhkan ijazah sarjana. Lebih baik jadi sarjana pengangguran daripada harus jadi cleaning service.
Jika pikiran masyarakat seperti itu, saya sarankan untuk membuangnya jauh-jauh. Hidup ini berputar, tidak selamanya kita berada diposisi yang enak dan zona nyaman terus-menerus. Tidak gampang mencari pekerjaan menggunakan ijazah sesuai jurusan. Misalnya jurusan akuntansi yang melamar pekerjaan ke perusahaan manapun, tetapi selalu ditolak. Jika sudah seperti ini, kenapa tidak berpikir untuk membuka usaha sendiri? Terkendala modal? Bisa saja mencoba membuka usaha dengan modal pas-pasan. Atau jika ingin modal besar, kan bisa melakukan pinjaman. Masih tidak bisa juga? Ya sedikit berkorbanlah bekerja yang lain seperti menjadi cleaning service, kemudian gajinya bisa ditabung untuk modal membuka usaha. Atau dengan cara mengajar atau memberikan les private kepada anak sekolah. Misalnya mengajar anak SD itu tidak sulitkan, apalagi bagi seorang sarjana? Selain dapat menyalurkan ilmu yang dimiliki, ini juga tidak bisa disebut dengan pengangguran. Pun mengajar dan berbagi ilmu kepada orang lain adalah hal yang mulia.
Yang lebih disayangkan lagi adalah pemuda/i muda yang cerdas dan berkompeten lebih memilih untuk mengembangkan kemampuan mereka ke Negara lain. Mereka justru pergi meninggalkan Indonesia dan ‘memajukan’ Negara lain yang notabene-nya memang sudah ‘maju’. Ini mungkin sering dipertanyakan oleh masyarakat  ‘dimana rasa nasionalisme-nya’?
Sebelum kita menghakimi orang lain, sebaiknya kita introspeksi diri terlebih dahulu. Banyak pemuda/i Indonesia yang berkompeten tetapi tidak difasilitasi oleh Negara. Tetapi justru Negara lain yang melirik untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh pemuda/i Indonesia.
Saya menulis ini tidak untuk menjatuhkan pihak manapun. Saya hanya ingin mengajak pemuda/i Indonesia yang merupakan generasi penerus bangsa memiliki nasionalisme yang tinggi untuk Negara, lebih berfikir kritis dan tidak hanya bisa menyalahkan orang lain.

Dwi Ismayati

Yogyakarta, 28 Oktober 2015

Kamis, 17 September 2015

-ai el em yu-

Aku sering dihujani pertanyaan yang sama setiap kali aku mencoba mempelajari hal yang baru
'kenapa kau ingin mempelajari hal tersebut'?

'Kenapa kau masuk komunitas ini?'

'Apa alasan mu mengikuti kegiatan ini?'

'Apa yang membuat mu tertarik untuk bergabung dengan komunitas kami?'
..
Jujur, aku sering merasa 'kagok' sendiri dengan pertanyaan ini. Bingung harus jawab apa. Terkadang aku tidak memiliki alasan khusus kenapa aku ingin mempelajari sesuatu yang baru. Aku begitu mudah tertarik dalam banyak hal.

Cukup menikmati setiap prosesnya.
Aku ingin mengetahui banyak hal, karena mengetahui banyak hal yang sebelumnya tidak aku ketahui itu menyenangkan. Aku merasa ilmu yang aku miliki masih terlalu sedikit.

'Lalu, untuk apa kau mempelajari hal yang sesungguhnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan jurusan yang sedang kau tekuni? Kau bilang, ilmu mu masih terlalu sedikit, lalu kenapa kau tidak tekuni saja jurusan yang memang sudah kau pilih. Kau bisa ahli dalam bidang yang memang sudah terarah untuk dirimu. Tidak perlu lah menghabiskan waktu dan energi mu untuk hal yang lain.'

Aku sering bosan jika harus hidup monoton. Hidup dengan rutinitas yang selalu sama, bagiku kurang berwarna. Aku memang bukan seseorang yang paling ahli dalam bidang ku, bukan pula orang yang luar biasa dalam jurusan ku. Tapi aku selalu berusaha agar aku selalu mampu. Mampu mempertanggungjawabkan apa-apa yang memang menjadi tanggungjawab ku, mampu bersaing dengan rekan-rekan di sekitar ku, mampu menjadi sesosok manusia yang berguna untuk orang lain, khususnya dalam bidang dan jurusan yang memang ku tekuni.

Tetapi, ada satu hal yang paling aku ingat, adalah nasehat sederhana ayah.
Ilmu itu penting, sekecil apapun ilmu pasti akan berguna. Mungkin saat ini kau belum merasakan nya. Tapi suatu saat, entah kapan, kau akan merasakan manfaat nya. Ilmu itu tidak hanya tentang apa-apa yang kau pelajari di kelas. Berinteraksi dan belajar memahami orang lain juga perlu ilmu, nak. Berorganisasi dan bernegosiasi juga butuh ilmu. Dan ilmu yang paling penting bagi manusia adalah PENGALAMAN.

'Ya, nasehat itu memang bagus. Tapi apakah kau tidak memiliki hobi yang bisa kau tekuni?'

Hobi? Tentu aku memiliki nya. Hingga sekarang pun aku masih menekuni nya. Aku sangat suka menggambar, membaca komik, bahkan aku masih menyukai menggambar manga dan kartun-kartun Jepang. Meskipun kemampuan menggambar ku tetap tidak sebagus para profesional. Aku juga begitu menyukai band asal jogja 'Sheila on 7'
Hampir setiap tahun aku selalu menonton konsernya. Itu hanya sebagian kecil hobi yang kuceritakan.
Aku memiliki banyak hobi. Dan hobi ku selalu menyukai sesuatu yang baru.

'Jika kau selalu menyukai sesuatu baru, bukan kah itu bisa membahayakan dirimu, juga kasian orang-orang yang ada disekitar mu. Ketika kau memiliki sesuatu yang baru. Bagaimana dengan berbagai hal 'lama' yang kau miliki. Akankah kau selalu meninggalkan hal lama setelah kau memiliki yang baru?'

Aku memang menyukai banyak hal baru. Tetapi setiap kali aku memiliki hal yang baru, bukan berarti aku melupakan yang lama. Yang baru  memang menyenangkan, tetapi hal lama yang kumiliki semakin lama justru semakin membahagiakan.

Intinya begini, aku merasa diriku terlalu kecil, sedangkan dunia ini terlalu luas. Banyak hal yang ingin aku lakukan. Tetapi aku sangat paham bahwa hingga ujung usia ku pun tidak akan mampu menemani ku merasakan semua hal di dunia ini.Ayahku bilang, selagi itu positif dan tidak mengganggu kegiatan 'wajib'mu, maka lakukan lah.

Aku ingin menikmati hidup dan ingin selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan-Nya. Satu pelajaran yang paling sulit bagiku, yang sesungguhnya aku harus selalu mempelajari nya seumur hidupku. Yaitu: sabar dan ikhlas.

Sungguh. Aku berharap Allah selalu mempermudah urusan ku dunia-akhirat dan selalu meletakkan 'kesabaran dan keikhlasan' di hatiku. 😇😇

Minggu, 23 Agustus 2015

Jika peduli mu menyakitkan, itu tandanya kamu belum ikhlas, nak. Memang ikhlas adalah tingkatan ilmu yang paling tinggi.  Janganlah menghitung untung-rugi. Cukup lakukan saja yang terbaik. Itu juga untuk kebaikanmu.
Jika kamu baik kepada seseorang, tidak perlu berharap balasannya. Berharap itu kepada Allah, bukan kepada manusia. Karena berharap kepada manusia bisa membuat mu kecewa, sedangkan berharap kepada Allah itu pasti. Pasti memberikan yang terbaik untuk mu, pasti memberikan ketenangan dalam hatimu, nak.
Hidup memang butuh target, dan cukup menyakitkan jika target tidak tercapai.
Tapi percayalah, dibalik itu semua Allah telah menyiapkan sesuatu yang lebih baik untuk mu. Berfikir positif adalah sebuah langkah menuju kebahagiaan dan ketentraman hati

Jangan lupa bahagia ^^

Rabu, 08 Juli 2015

Php(?)

Php(?) Maaf, aku bukan php. Kita cermati arti Php, yaitu "Pemberi harapan palsu". Aku tidak pernah memberi mu harapan. Maaf jika menurut mu, aku telah memberi mu harapan. Aku tidak bermaksud untuk itu. Kamu bilang aku cuek, jutek atau apapun kamu mendeskripsikan tentang ku. Ya beginilah aku, sifat ku dan segala kekurangan ku. Maaf, aku tidak bermaksud sombong. Aku hanya belajar bersikap tegas. Aku belajar menjaga diri. Aku memang bukanlah seorang yang suci. Aku juga bukan seorang wanita sempurna. Tapi aku sedang belajar menjadi seseorang yang lebih baik.
Terimakasih telah peduli terhadap ku. Kuberikan dua pilihan untuk mencintai ku. Halalkan atau tinggalkan. Jika kamu belum siap untuk menjadikan ku kekasih halal mu, lebih baik kita sendiri dulu. Mendekatkan diri kepada Sang Maha Cinta. Allah tahu yang terbaik untuk kita. Jujur, untuk sekarang aku memang belum siap melangkah ke jenjang yang lebih serius. Masih banyak yang harus aku perbaiki, masih banyak hal yang harus aku pelajari. Kita sama-sama memantaskan diri. Agar kelak aku bisa menjadi seorang istri yang sholehah dan seorang ibu yang baik. Biarlah Allah yang menjadi "mak comblang" dalam kisah cintaku.
Aku sangat menghargai cinta. Akupun pernah jatuh cinta. Bahkan aku pernah salah dalam memaknai dan menempatkan cinta.
Aku memang pernah berpacaran seperti remaja pada umumnya. Tapi sekarang aku menyadari bahwa manfaat pacaran tidak lebih banyak daripada mudharatnya. Aku banyak belajar dari masa lalu.
Cinta itu apa? Apakah cinta itu berubah-ubah? Sebelumnya mengatakan cinta dengan A, kemudian pacaran dan putus. Jatuh cinta lagi dengan B, pacaran lagi lalu putus lagi. Seperti itu kah cinta? Tidak bisakah kita jatuh cinta berulang-ulang dan berkali-kali hanya dengan satu orang saja(?)
Bagiku cinta memang sulit untuk dijelaskan. Hari ini kamu bilang cinta, boleh jadi esok lusa kamu bilang sudah tidak cinta lagi.
Perasaan manusia begitu rumit, sulit ditebak. Terkadang aku heran dengan orang-orang yang begitu cepat jatuh cinta dan begitu cepat melupakan.
Jujur, aku memang sedang belajar memahami cinta yang sesungguhnya.
Aku memang sulit untuk jatuh cinta dan begitu sulit pula untuk melupakan.
Tapi aku sadar, hati sesorang siapa yang tahu. Allah-lah menitipkan perasaan ini. Karena itu aku lebih memilih untuk mencintai Allah sebelum melabuhkan cinta ini kepada hamba-Nya.
Aku takut sekali rasa cinta ku terhadap manusia lebih besar dari pada rasa cinta ku kepada Allah.
Diusiaku yang terbilang bukan remaja lagi, aku belajar untuk menjadi lebih dewasa. Semua memang butuh proses.
Aku malas jatuh cinta lagi dengan orang baru. Sekarang aku memang tidak mencintai mu. Tapi apalah daya, hati ini milik Allah. Jika Allah berkehendak, apapun bisa terjadi.
Aku sangat ingin suatu saat kelak mendapatkan suami yang sholeh, mencintai ku karena Allah dan dapat membimbing ku menuju surga-Nya. "
Dan lagi aku sadar, bukan kah jodoh itu adalah cerminan diri? Bagaimana modal ku untuk mendapatkan jodoh yang baik? Apakah aku sudah baik? Tentu masih banyak hal yang harus aku perbaiki.
Aku percaya janji Allah. Lelaki yang baik untuk wanita yang baik dan begitu sebaliknya.
Semoga kita semua mendapatkan jodoh yang terbaik. Jodoh dunia akhirat^^
~dwi ismayati~

Rabu, 01 Juli 2015

Ayah..



Ayah..
Bukan sekali aku menyakiti hati ayah, bukan sekali aku tidak terima nasehat ayah, dan bukan sekali aku membantah perkataan dan permintaan ayah. Padahal setiap nasehat ayah itu baik untukku, baik untuk hidupku, dan baik untuk agamaku. Maafkan aku yang terlalu egois dan manja. Maafkan aku yang terlalu menuntut dan terlalu banyak keinginan. Maafkan aku yang sering tidak sependapat dengan ayah. Maafkan aku yang sering tidak menerima kritikan dan saran dari ayah.
Karakter ayah yang bersifat keras mendidik untuk berani dan bersikap tegas. Kritikan dan nasehat ayah yang membangunku untuk menjadi seorang yang mandiri. Meskipun aku masih tetap menjadi ‘tuan putri’ mu yang manja. Aku bersyukur memiliki seorang ‘ayah’ seperti ayah. Aku begitu beruntung karena masih memiliki seorang ayah, karena tidak semua anak seberuntung diriku.
Malam itu aku mendengar kabar bahwa seorang temanku baru saja kehilangan ayahnya. Seketika dengan erat aku memeluk ayah. Aku tidak ingin kehilangan ayah. Tidak terasa butiran lembut dari mataku jatuh membasahi pipi. Tidak ada yang tahu usia manusia. Aku yakin pasti sangat menyakitkan ketika tidak sempat melihat jasad ayah untuk terakhir kali karena terkendala jarak. Aku yang hanyalah seorang temannya justru menyaksikan secara langsung saat ayahnya dikebumikan, sedangkan dia sedang dalam perjalanan pulang. Aku tahu, itu sangat menyakitkan. Seandainya aku yang berada pada posisi itu, entah bagaimana aku menerima kenyataan. Aku semakin sadar betapa pentingnya seorang ayah.
Tidak hanya itu yang membuatku semakin merasa beruntung. Di sini pada kegiatanku pendampingan TPA, tidak sedikit santri yang merupakan anak yatim. Sungguh, aku semakin merasa beruntung karena memiliki ayah. Mereka yang masih kecil dan masih haus akan kasih sayang orang tua, tetapi tidak mereka dapatkan. Belum lagi beberapa anak yang tidak dipedulikan oleh ayah mereka, ditelantarkan dan ditinggal pergi entah kemana. Sekalinya ayahnya pulang, sang anak justru sering dipukuli. Teriris hati melihat kenyataan ini.
Aku selama ini memang kurang bersyukur dengan apa yang aku miliki. Memiliki orang tua seperti ayah dan ibu adalah sebuah anugerah yang luar biasa dan tak ternilai harganya.
Disisa umurku yang masih diberi Allah waktu dan kesempatan, aku ingin membahagiakan ayah. Dalam sujudku, aku memohon kepadaNya untuk kebaikan ayah. Agar ayah selalu diberi kesehatan dan suatu saat dapat dengan bangga melihat kesuksesanku. Aku pun berdoa semoga setiap anak juga merasakan kasih sayang dari seorang ayah.
Ismayati

Sabtu, 20 Juni 2015

19 Juni 2015 – Ramadhan – Bersyukur bersama mereka

19 Juni 2015 – Ramadhan – Bersyukur bersama mereka
Malam ke-3 ramadhan di lokasi ini. Kembali, aku dan beberapa rekan-rekanku melaksanakan ibadah tarawih di dalam sebuah gedung kecil kosong dengan beralaskan tikar. Masih sama seperti malam-malam sebelumnya, sholat berjamaah bersama sebagian besar anak-anak. Malam ini aku mendapat giliran sebagai imam dalam melaksanakan tarawih. Awalnya sempat terlintas dalam pikiran. Sanggupkah aku menjadi imam malam ini bersama jamaah anak-anak yang luar biasa hiperaktif ini? Masihkah anak-anak ini loncat-loncat ke punggung imam pada saat sholat? Masihkah mereka teriak-teriak sambil berlari kesana kemari saat sholat? Terutama suara jeritan anak laki-laki yang begitu kerasnya melengking hingga menyakiti telinga mendengarnya. Berbagai dugaan terlintas di otakku. Tapi ternyata aku salah. Malam ini, anak-anak semakin tenang dalam sholat. Tidak ada lagi anak-anak yang berlari sana sini seperti malam-malam sebelumnya, terutama pada saat malam pertama tarawih dimana anak-anak begitu hebohnya. Ya, memang masih ada beberapa anak yang pada saat sholat sambil tertawa, entah apa yang ditertawakan.
Trik ‘bintang anak sholeh’ cukup berhasil untuk meng-handle anak-anak ini. Dengan cara memberikan bintang untuk anak-anak baik dan tidak bermain pada saat sholat, ternyata cukup efektif. Mereka berlomba-lomba menjadi anak baik agar mendapat bintang anak sholeh, dengan iming-iming hadiah.
Anak-anak memang ibarat kertas putih, masih belum paham mana yang benar dan mana yang salah. Bersih. Kitalah orang dewasa yang seharusnya mendidik mereka menjadi lebih baik. Kitalah yang seharusnya membimbing mereka, bagaimana melukis kertas putih tersebut. Apakah dengan kebaikan, ataukah dengan keburukan. Anak-anak memang membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Untuk anak-anak seusia mereka, wajar apabila masih banyak melakukan kesalahan. Kita yang sudah dewasa dan mengerti sudah sepatutnyalah membimbing dan mengarahkan mereka untuk menjadi lebih baik. Pada awalnya memang terasa berat. Tetapi pelan-pelan, semakin kita mengenal anak-anak, memahami dunia mereka, mengerti keinginan mereka, rasanya semakin nyaman berada bersama mereka. Belajar mengenal dunia mereka, bagaimana latarbelakang mereka. Disinilah aku baru mengetahui beberapa anak-anak ini adalah anak yatim piatu. Ada anak yang orang tuanya sudah meninggal dunia, ada pula anak yang ibunya pergi entah kemana. Tersentuh hatiku mengetahui latar belakang kehidupan mereka.
Anak-anak memang sangat butuh perhatian. Terutama untuk anak-anak yang telah kehilangan ayah dan ibu mereka. Beberapa diantara mereka yang masih sangat dini sudah harus menjadi anak yatim. Bagaimana tidak, anak-anak sesuai mereka yang masih haus akan kasih sayang dari orang tua  dan perhatian tetapi justru tidak mendapatkannya. Itulah kenapa saat kehadiran kami disini, ada-ada saja kelakuan anak-anak ini untuk menarik perhatian.
Kurang lebih 2 minggu bersama mereka, aku semakin banyak belajar dari mereka. Setiap anak mempunyai latar belakang yang berbeda, kehidupan masa kecil yang berbeda. Setelah mengenal mereka, aku menjadi semakin bersyukur. Tidak semua anak beruntung masih mempunyai orangtua. Tidak semua anak beruntung selalu diperhatikan oleh orang tua.
Terimakasih ‘anak-anakku’. Kalian menyukai kehadiran kami disini. Walaupun pada awalnya tidak mudah untuk kita saling bersatu. Terimakasih sudah perhatian terhadapaku. Menelponku saat aku datang terlambat TPA. Menanyakan keberadaanku saat aku absen tidak hadir belajar bersama kalian. Terimakasih sudah menjadi ‘anak baik’. Seterusnya jangan ‘bandel’ laginya. Selamanya harus selalu begitu.
Selama berada disini, aku tidak berharap lebih bagaimana pandangan warga atas kehadiran kami. Apakah warga sekitar masih tidak menyukai atau menyukai kehadiran kami. Aku dan rekan-rekan berusaha semampu dan semaksimal mungkin membantu anak-anak. Memberikan perhatian, bermain, belajar, mengaji, menyanyi, bercerita, dan lain sebagainya. Hari demi hari terasa semakin akrab dengan mereka.
Kita mungkin tidak bisa merubah dunia di sekitar kita, tapi kita bisa merubah diri kita sendiri. Kita mungkin kesulitan meluruskan persepsi orang-orang tentang diri kita, tapi kita bisa meluruskan persepsi kita tentang mereka. Karena nya, aku belajar untuk memulainya dari diri sendiri.
Dwi Ismayati

Jumat, 19 Juni 2015

17 Juni 2015 - Ramadhan - kuatkan hati, sabar, ikhlas



17 Juni 2015 - Ramadhan
Selamat datang Ramadhan. Alhamdulillah Allah masih memberikanku kesempatan untuk bertemu lagi dengan bulan suci Ramadhan. Sama seperti Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, inshaAllah Ramadhan selalu memberikan banyak keberkahan dan pelajaran dalam hidup. Tetapi Ramadhan tahun ini terasa sangat jauh berbeda.
Ramadhan jauh dari keluarga? Itu sih sudah biasa saja. Ini tahun ke-3 aku menjalani Ramadhan di tanah rantau. Puasa tanpa sahur, karena malas masak atau malas untuk sekadar keluar kos membeli makanan, atau kebablasan baru bangun tidur setelah mendengar adzan subuh? Puasa tanpa sahur bukan masalah besar untukku. Tetapi Ramadhan tahun ini sungguh terasa seperti sedang berada pada sebuah pengasingan, dimana aku belum pernah merasakan Ramadhan di tempat ini.
Bagaimana tidak. Untuk pertama kalinya pada bulan Ramadhan aku melaksanakan sholat sunnah tarawih tidak di masjid atau musholla, tetapi hanya dalam sebuah gedung kosong kecil dengan menggelar tikar. Ini kali pertama aku sholat sunnah tarawih berjamaah bersama kurang lebih 6 orang rekanku (semua wanita) dengan semua jamaah anak-anak. Anak-anak kecil usia PAUD, TK, dan anak-anak dibawah kelas 4 SD.
Imam? Tentu saja kami bertujuh para wanita setiap harinya bergantian menjadi imam dan bergantian mengisi Qultum. Sungguh luar biasa bagaimana harus sabarnya menghadapi situasi seperti ini.
Ya ampun, hari pertama tarawih sudah dituntut untuk mengendalikan diri agar super sabar dan dipaksa untuk memeras otak bagaimana menghadapi jamaah yang kurang lebih 30 anak yang sangat luar biasa ‘hyperaktif’ ini. Loncat sana, loncat sini, lari sana, lari sini sembari teriak-teriak. Suara imampun kalah dengan suara jeritan anak-anak ini. Lihatlah bagaimana bahagianya ‘dunia anak’ bagi mereka.
Lebih menyedihkan lagi saat seorang anak laki-laki loncat ke atas punggung imam (perempuan) yang sedang sholat. Tidak hanya itu. Ketika aku duduk diantara dua sujud, seorang anak perempun tiba-tiba tidur di pangkuanku. Atau mungkin pada saat aku akan sujud, seorang anak menari-nari di atas sajadahku dan anak lainnya berlarian di depanku. Anak-anak lain yang sedang ‘belajar’ mengikuti gerakan sholat imam, teriak-teriak mengikuti bacaan sholat imam. Belum lagi suara tangisan anak-anak yang sedang bertengkar.
Tidak berhenti sampai disitu kehebohan tarawih yang dilakukan anak-anak ini. Suara petasan yang mereka mainkan sahut-menyahutnya tiada henti. Jantung rasanya mau copot.
Selanjutnya seorang rekanku memberikan Qultum kepada anak-anak ini, yaitu mengajarkan anak-anak tentang doa dan akhlak. Tetapi untuk mengisi Qultum-pun tidak mudah. Tidak ada satupun dari mereka yang mendengarkan. Mereka asyik dengan dunianya sendiri. Dinasehati? Sudah. Berkali-kali dinasehati tetapi tetap saja ‘berisik’. Bahkan ada anak yang loncat dan jingkrang-jingkrak di belakang ustadzah sembari memperagakan gerakan yang aneh-aneh seolah sedang mengejek ustadzah yang sedang menyampaikan Qultum. Dimarahi? Mau dimarahi bagaimana lagi? Sampai-sampai kami yang memarahi mereka pun sudah lelah.
Maka, malam itu kami berusaha membuat perlombaan dengan memberikan reward kepada pemenangnya. Setiap kali sholat berjamaah (khususnya sholat tarawih), mereka harus tenang dan menjadi ‘anak baik’. Setiap anak yang menjadi anak baik, akan mendapatkan satu buah cap bintang. Maka setiap minggu nya, kami akan memeriksa siapa saja anak yang mendapatkan bintang paling banyak dan dinyatakan sebagai pemenangnya. Pemenangnya akan mendapatkan hadiah. Tetapi siapa yang peduli dengan itu semua? Mereka mendengarkan pun tidak.
Tidak hanya masalah tarawih yang membuat kami terus memeras otak. Pada pendampingan TPA mereka semakin menjadi-jadi. Bagaikan TPA adalah ‘markas’ mereka. Pendampigan TPA telah berjalan beberapa hari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Kami mencoba mendampingi, mengarahkan dan mengajarkan mereka mengaji, sholat dan tentang islam pada kegiatan pendampingan TPA. Tetapi mereka hanya mementingkan bermain. Belajar? Buat apa, pikir mereka. Belajar hanyalah buang-buang waktu. Belajar itu melelahkan dan membosankan. Ya, dunia anak memang dunia bermain. Sekali lagi kami mencoba trik untuk pendampingan TPA dengan dunia bermain. Games education, bermain sambil belajar. Bernyanyi, mewarnai, bercerita, dan kegiatan lainnya.
Ide menjalankan games education  pada pendampingan TPA berjalan cukup baik. Pelan-pelan anak-anak mulai dapat diarahkan. Tetapi namanya juga anak-anak. Tidak lepas dari bersaing dengan teman, rebutan mainan sampai rebutan ‘ustadzah’. Nangis sana, nangis sini, bertengkar, bahkan ada yang sampai jatuh terluka. Anak-anak ini masih sama seperti saat aku pertama kali mengenal mereka. Hiperaktif.
Tidak sampai disitu perjuangan kami. Aku dan rekan-rekan mengadakan suatu perlombaan lagi untuk anak-anak ini. Untuk kali ini mencoba ruang lingkup lomba lebih besar, kami bekerja sama dengan TPA-TPA lain. “Lomba Anak Sholeh”
“Lomba Anak Sholeh” akan diadakan setelah hari raya idul fitri. Lomba Anak Sholeh diikuti dari berbagai TPA, Masjid dan Musholla lainnya. Dengan alasan lomba ini, kami mengajarkan anak-anak tentang solidaritas. Mereka disini semua teman, mereka adalah satu tim. Mereka bukanlah saingan. Saingan mereka adalah mushola/masjid/TPA lain. Anak-anak harus saling membantu satu sama lain. Disinilah pelan-pelan mereka mulai saling peduli satu sama lain. Setidaknya masalah pertengkaran kecil anak-anak mulai berkurang.
Dengan adanya lomba anak sholeh ini, anak-anak sedikit ada rasa antusias tentang belajar. Tetapi ekspektasi mereka terlalu tinggi. “Nanti lombanya masuk tv ya mba? Aku mau masuk tv. Terus nanti kalau menang dapat hadiah apa? Aku mau sepeda, atau dapat android? Aku mau handphone, tab, apalagi ya?” Entah macam-macam gadget mereka sebutkan. Anak jaman sekarang, mainannya gadget. Anak yang belum sekolahpun sudah mengerti gadget. Wajarlah, jaman sekarang dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, gadget sudah semakin mudah didapatkan. Tidak perlu banyak mengeluarkan uang, dengan harga murahpun sudah bisa mendapatkan gadget. Membeli gadget sudah seperti membeli ‘gorengan’. Bertabur dimana-mana.
Meskipun begitu, pada kenyataannya ‘lomba anak sholeh’ yang kami selenggarakan tidak se-wow yang anak-anak ini bayangkan. Tidak ada wartawan atau televisi yang akan datang meliput kegiatan ini. Tidak ada hadiah gadget dan lain sebagainya. Kegiatan yang kami selenggarakan sederhana. Hadiah hanya berupa tropi, piagam dan beberapa alat-tulis untuk menunjang pendidikan mereka. Setidaknya kami ingin kegiatan ini bermanfaat. Terlepas dari itu semua, kendala dana yang kami miliki sebenarnya tidak cukup jika menghadiahkan gadget kepada para pemenang.
Toh, untuk anak-anak seusia mereka, gadget belumlah terlalu penting. Untuk main games? Buat apa? Games pada gadget justru kebanyakan menjadikan mereka seseorang yang individual. Belum lagi radiasi dari gadget tidak baik untuk masa pertumbuhan anak-anak. Karena itu, kami mengajak anak-anak dengan permainan tradisional. Mulai dari permainan ular tangga, congklak, gobak sodor, dan masih banyak permainan tradisional lainnya. Tidak berhenti sampai disitu. Kami menjalani hari-hari di TPA bersama anak-anak dengan menyanyi, senam, mewarnai, bahkan sampai mengadakan pendampingan bimbingan belajar.
Semakin menjalani rutinitas ini, aku semakin merasakan bahwa menjadi guru itu tidak mudah. Terutama menghadapi anak-anak nakal. Ngeyelnya minta ampun. Bandel. Saat kita peduli akan kebaikan mereka, apakah mereka sendiri peduli dengan kebaikan mereka?
Ingin rasanya memberi  hukuman untuk anak-anak nakal. Setidaknya mereka mengerti, yang salah itu tidak baik. Tapi itu tidak mungkin. Justru kita yang akan dimarahi oleh orang tua mereka. Aku dan rekan-rekan beberapa kali mengunjungi takmir mushola untuk meminta saran, pendapat dan masukan mengenai kegiatan kami disini. Takmir musholla di lingkungan ini adalah seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri. Beliau telah tinggal di lingkungan ini kurang lebih 9 tahun. Setidaknya beliau jauh lebih mengenal warga sekitar dan beliau adalah salah satu orang yang disegani di wilayah ini.
“Warga disini memang agak sedikit berbeda pemikirannya. Kita harus memahami bagaimana pemikiran kebanyakan warga. Apapun yang kita lakukan, kita lah yang salah. Kita disini hanya mengikuti apa yang memang sudah ada. Saya dan Istri saya pernah mencoba mendirikan TPA disini. Tetapi cukup berat menjalankannya. Warga disini kurang antusias. Terkadang anak-anak mereka tidak mereka pedulikan. Apakah sudah mandi atau belum saat pergi TPA. Apakah anak-anak mereka berangkat TPA atau tidak. Bagaimana pakaian anak-anak saat mengikuti TPA? Berbusana muslim atau hanya sekadar memakai celana pendek dengan kaos oblong?
Tetapi pada saat anak-anak TPA ada yang bertangkar, menangis, berselisih paham dengan temannya, orang tua mereka justru menyalahkan ustad dan ustadzah. Ustadnya ngapain aja toh, loh kok gak ngurusin santrinya?” Penuturan jelas dari takmir membuat kami belajar memahami situasi seperti ini.
Seminggu pertama di lokasi ini, aku dan rekan-rekan kembali mendapat masalah. Warga berbicara pada kami bahwa warga ingin men’demo karena keberadaan kami disini. Semenjak keberadaan kami disini, anak-anak semakin sering datang ke musholla dan meramaikan musholla. Belum lagi suara berisik yang ditimbulkan dan teriakan-teriakan anak-anak. Sungguh, bergetar rasa hati mendengarnya. Aku dan rekan-rekan disini mempunyai maksud dan tujuan yang baik. Kami berada di sini pun karena kewajiban kami yang ditugaskan dalam pengabdian masyarakat. Setiap harinya kami berada disini hanya sore sampai malam hari. Setelah itu pulang dan menjalani rutinitas kami masing-masing. Kami tidak setiap detik berada di lokasi, menginappun tidak. Tetapi, sebegitu mengganggu nya kah kami?  Entah, aku bingung harus bagaimana lagi.
Kembali, kami mengunjungi takmir musholla untuk meminta saran mengenai masalah ini. Ya, nasehat pak takmir cukup membuat hati kami tenang. InshaAllah takmir akan melindungi kami, tidak akan ada demo dari warga. Pak Takmir justru berterimakasih, karena kehadiran kami musholla terasa hidup kembali. Anak-anak senang untuk bermain dan belajar di musholla. Untuk warga yang protes karena kehadiran kami, pelan-pelan pak takmir akan membantu kami berbicara dengan warga. Anak-anak berisik? Ya namanya juga anak-anak, memang biasanya begitu. Anak-anak nakal dan tidak bisa diatur? Kenapa harus menyalahkan orang lain? Bukankah itu anak mereka? Sekolah pertama bagi seorang anak adalah orang tua, keluarga, dan di rumah. Bukankah memang sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mendidik anak? Anak-anak mereka sekarang semakin suka bermain ke musholla karena kehadiran kami? Anak-anak lebih suka bermain dengan kami daripada dengan orang tua mereka sendiri? Apa itu salah kami? Jika memang orang tua tidak menyukai anak-anaknya untuk bermain dengan kami, kenapa tidak ‘dikurung’ saja anaknya di dalam rumah?
Idealis boleh, tapi idealis tidak selamanya bisa terus dipakai. Lihat juga bagaimana realitanya. Idealis tidak bisa dipakai dimanapun. Kita tidak bisa mengatur orang lain, mempertahankan pendapat dan keinginan kita dan memaksa orang lain melakukan apa yang kita inginkan. Harus belajar memahami situasi.
Saat kita ditugaskan untuk datang ke suatu tempat yang (maaf) jauh dari rasa peduli, pendidikan, disiplin dan agama. Kita tidak harus merubah segala sesuatunya menjadinya lebih baik. Apalagi jika itu sudah menjadi ‘budaya’ mereka bertahun-tahun. Impossible. Tapi dengan kehadiran kita disana, setidaknya kita bisa sedikit mengarahkan menjadi lebih baik.
Sekarang aku paham. Lebih baik dimarahi habis-habisan karena melakukan kesalahan kemudian berusaha memperbaikinya. Daripada hanya dibiarkan saja melakukan kesalahan dan seterusnya akan terus melakukan kesalahan. Dimarahi? Itu tandanya sesorang masih peduli. Dibiarkan saja? Sungguh, ternyata itu lebih menyakitkan.
Terkadang seseorang apatis, karena idealis itu menyakitkan.
Terkadang seseorang berhenti peduli, karena dia pernah sangat peduli tetapi kepeduliannya tidak dihargai. Sakit.
Kita berjuang mati-matian, demi kebaikan mereka. Tapi apa yang kita dapat? Cacian dari mereka? Sakit hati saja kita mendengarnya.
Ayah, ibu, keluarga, guru-guru dan semua teman-temanku tercinta. Terimakasih karena kalian selalu peduli. Mengajarkan dan mengingatkan ku dalam kebaikan. Memarahai ku setiap aku melakukan kesalahan, menasehati tentang keburukanku, mengkritik kesalahanku, bangga atas prestasiku. Sungguh, semua itu lebih indah daripada hanya dibiarkan saja. Tidak peduli.

Sabtu, 02 Mei 2015

Surat untuk ibu



Dear…. Ibu….
Ini surat kedua yang aku tulis untuk ibu setelah surat terakhirku 15 tahun yang lalu. Saat jarak memisahkan kita. Saat aku dengan sabar menunggu ibu di kota kecil Krui – Lampung Barat dan ibu sedang berjuang untukku di Kota Bandar Lampung.
Kembali jarak memisahkan kita. Sekarang saatnya aku berjuang untuk ibu di Kota Yogyakarta dan ibu dengan sabar menunggu perjuanganku di kota kecil Krui.
Bu, hari ini aku mengunjungi sebuah panti asuhan. Ditengah segala rutinitas dan kesibukanku, entah kenapa kali ini aku ingin menulis tentangmu, bu. Betapa beruntungnya aku masih memiliki seorang ibu. Memiliki seorang ibu seperti ibu.
Ibu, usiaku kini 20 tahun sudah. Aku bukan seorang anak kecil lagi. Tetapi ibu tetap setia mendengar setiap keluh kesahku, mendengar segala isi hatiku, mendengar kegalauanku, mendengar setiap masalahku, mendengar setiap pengalamanku.
Bu, terimakasih atas semua kepercayaan yang ibu berikan kepada ku. Kepercayaan untuk membiarkanku merantau jauh. Terimakasih ibu telah percaya bahwa aku bisa menjaga diri dengan baik. Insyaallah akan kujaga kepercayaan ibu.
“Nak. Kamu merantau jauh disana yang diluar pantauan ibu. Bisa saja kamu berbohong kepada ibu untuk setiap kegiatanmu. Tapi, kamu sudah besar nak, ibu percaya kepadamu. Kamu mengerti mana baik dan mana buruk. Meskipun ibu melindungimu dengan pagar betis sekalipun, jika niatmu buruk maka buruk pula kegiatanmu. Tetapi, jika niatmu baik, sekalipun ibu bebas melepasmu, kamu akan tetap baik. Dan ibu percaya, Allah selalu melindungi. Maka minta perlindungan kepada Allah.”
Bu, terimakasih untuk setiap nasehat dari bibir lembutmu. Nasehat yang selalu kuingat sebagai peganganku menjalani hidup, nasehat untuk memberi batasan untuk diriku, nasehat untuk tetap selalu semangat. Aku selalu ingat nasehat itu, bu.
Terkadang ada perasaan iriku melihat teman-teman yang ditemani oleh ibunya saat mereka berjuang mengejar cita-cita. Saat aku mencoba tes tertulis STIS, SNMPTN tertulis, tes tertulis poltekes dan tes tes perguruan tinggi lainnya. Ingin rasanya ibu selalu disamping memelukku. Tetapi aku sadar, keadaan tidak memungkinkan. Ibu yang jauh sana, di kota kecil krui, sedangkan aku di Bandar Lampung.
Begitupun saat pertama kali aku akan merantau ke Jogja, ada keinginan kecilku bahwa ibu setidaknya mengantar kepergianku. Setidaknya aku menciummu bu, mencium tanganmu. Tetapi sekali lagi karena jarak yang memisahkan kita. Aku yang berada di kota Metro saat itu langsung diantar ayah ke Jogja. Ibu mendoakan ku dari kota krui yang jauh disana.
Tetapi meskipun saat itu ibu tidak berada disampingku, suara ibu melalui telpon sudah cukup memberiku semangat. Ibu, terimakasih untuk setiap doa dan dukunganmu.
“Nak, maaf ibu tidak mengiringimu mengejar cita-citamu. Maaf ibu tidak mengantarmu kesana kemari saat kamu test perguruan tinggi. Maaf ibu tidak ada di sampingmu. Ada ayah yang menjagamu, ada kakakmu yang menemani. Kamu tahu alasan ibu tidak bisa ikut menemanimu. Dan percayalah nak, doa dan restu ibu yang paling penting. Doa dan restu ibu selalu menemani setiap perjalananmu.”
Kata-kata ibu selalu menjadi semangat terbesarku. Doa ibu luar biasa. Aku percaya itu. Tanpa doa dan restumu bu, aku bukanlah apa-apa. Ibu selalu total mendukungku. Alhamdulillah karena doa ibu jugalah aku terima tes SNMPTN saat itu, meskipun bukan terima pada program studi yang kuinginkan. Aku merengek kepada mu saat itu bu.
“Bu, aku tidak ingin kuliah di program studi itu, meskipun itu perguruan tinggi negeri. Meskipun itu universitas bagus. Aku hanya ingin program studi farmasi. Tolong bu, meskipun pada akhirnya aku hanya kuliah di Perguruan Tinggi swasta. Tapi aku akan mencari perguruan tinggi swasta yang bagus bu. Aku tahu ada salah satu universitas yang memiliki program studi farmasi bagus di Jogja. Farmasinya sudah terakreditasi A. Aku ingin tes disana bu, ibu tahu tidak semua perguruan tinggi swasta itu buruk.”  
Ketika beberapa orang mencibir ibu, ketika beberapa orang mempengaruhiku. Tetapi ibu tetap mengedepankan keinginan dan cita-citaku. Ibu dengan sabar menghadapi cibiran orang. Saat aku rendah diri, setiap kata-kata ibu membuatku kembali percaya diri.
“Sudahlah nak. Tidak usah pikirkan apa kata orang. Mereka tidak mengerti hidupmu. Ini hidupmu, kamu yang menjalani. Maka selalu jadilah seperti berlian. Berlian akan tetap bersinar dimanapun berada, meski di dalam lumpur sekalipun.”
Bu, terimakasih selalu menjadi obat terdahsyat saat aku sakit. Meski ibu jauh disana, aku percaya doa ibu selalu menyertai. Terimakasih untuk selalu mengingatkan kesehatanku. Dokter bilang aku harus minum obat ini, minum obat itu. Cek ini, cek itu. Tapi ibu selalu memberiku semangat. Maafkan anakmu yang selalu membuatmu khawatir.
Bu, maafkan anakmu yang terlalu banyak keinginan. Maafkan anakmu yang sering merepotkan. Entah bagaimanapun, ibu selalu berjuang untukku. Memenuhi setiap keinginanku. Maaf aku selalu menjadi anak yang lemah dan manja. Maaf aku terlalu sering mengeluh kepadamu, sedangkan ibu tidak pernah mengeluh dengan segala macam perjuangan ibu untukku.
“Apapun keinginanmu jika itu mendukung segala kegiatan positifmu, selagi ibu dan ayah mampu akan diusahakan. Ibu percaya kamu jujur. Ingat nak, ibu dan ayah berjuang juga untukmu disini. Ibu dan ayah banting tulang untukmu, untuk kakakmu dan untuk adikmu. Tapi insyaallah ada saja rejeki untuk kalian sekolah.”
Bu, Terimakasih telah menjadi seorang ibu yang luar biasa. Maafkan anakmu yang sering menyakiti perasaanmu. Bukan sekali aku membuat ibu menangis, bukan sekali aku membuat ibu sakit hati karena kata-kata dan perbuatanku. Maafkan aku bu. Sungguh. Andaikan waktu bisa diulang. Tidak ingin aku menyakiti hatimu. Aku tahu, ibu selalu memaafkanku meskipun aku tidak minta maaf. Tapi bu, permintaan maafku pun tidak otomatis menghilangkan perasaan bersalahku.
Bu, waktu terasa begitu cepat berlalu. Jujur, aku takut bu. Aku takut aku semakin berumur, begitupun dengan ibu. Aku takut aku semakin sibuk. Aku takut waktuku dengan ibu semakin berkurang. Aku takut semua akan semakin berbeda. Suatu saat akan tiba saatnya aku lepas darimu, bu. Akan tiba saatnya aku menikah, menjalani hidup baru dengan keluarga kecilku. Aku takut aku tidak bisa membahagiakan mu, bu. Tapi percayalah bu, doa selalu aku panjatkan untukmu.
Ini sudah angkatan ke-3 aku menjadi mahasiswa farmasi. Ibu bilang ini masih awal perjuanganku sebagai mahasiswa. Akan banyak kesibukan menantiku mulai dari kkn, skripsi dan sebagainya.
“Skripsi itu baru awal perjuangan nak. Entah akan ada rintangan dan tantangan. Hanya kepada Allah tempatmu meminta. Semoga tidak banyak cobaan dan rintangan dalam menyusun skripsimu, akan dilancarkan penelitianmu,
 Aku tahu ibu selalu dan selalu mendoakanku. Doa terdahsyat darimu lah yang kuinginkan. Aku ingin menjadi seseorang yang ibu harapkan. Aku ingin ibu bangga kepadaku. Dan yang paling terpenting, aku ingin ibu selalu sehat dan tersenyum. Ibu selalu bahagia dunia dan akhirat. Doaku selalu untukmu. Terimakasih telah menjadi ibu yang sempurna dimataku. Ibu motivasi utamaku, ibu inspirasiku. Entah apa jadinya aku tanpa dirimu bu.

Salam sayang dari jauh, anakmu
Yogyakarta, 03 Mei 2015