Sabtu, 20 Juni 2015

19 Juni 2015 – Ramadhan – Bersyukur bersama mereka

19 Juni 2015 – Ramadhan – Bersyukur bersama mereka
Malam ke-3 ramadhan di lokasi ini. Kembali, aku dan beberapa rekan-rekanku melaksanakan ibadah tarawih di dalam sebuah gedung kecil kosong dengan beralaskan tikar. Masih sama seperti malam-malam sebelumnya, sholat berjamaah bersama sebagian besar anak-anak. Malam ini aku mendapat giliran sebagai imam dalam melaksanakan tarawih. Awalnya sempat terlintas dalam pikiran. Sanggupkah aku menjadi imam malam ini bersama jamaah anak-anak yang luar biasa hiperaktif ini? Masihkah anak-anak ini loncat-loncat ke punggung imam pada saat sholat? Masihkah mereka teriak-teriak sambil berlari kesana kemari saat sholat? Terutama suara jeritan anak laki-laki yang begitu kerasnya melengking hingga menyakiti telinga mendengarnya. Berbagai dugaan terlintas di otakku. Tapi ternyata aku salah. Malam ini, anak-anak semakin tenang dalam sholat. Tidak ada lagi anak-anak yang berlari sana sini seperti malam-malam sebelumnya, terutama pada saat malam pertama tarawih dimana anak-anak begitu hebohnya. Ya, memang masih ada beberapa anak yang pada saat sholat sambil tertawa, entah apa yang ditertawakan.
Trik ‘bintang anak sholeh’ cukup berhasil untuk meng-handle anak-anak ini. Dengan cara memberikan bintang untuk anak-anak baik dan tidak bermain pada saat sholat, ternyata cukup efektif. Mereka berlomba-lomba menjadi anak baik agar mendapat bintang anak sholeh, dengan iming-iming hadiah.
Anak-anak memang ibarat kertas putih, masih belum paham mana yang benar dan mana yang salah. Bersih. Kitalah orang dewasa yang seharusnya mendidik mereka menjadi lebih baik. Kitalah yang seharusnya membimbing mereka, bagaimana melukis kertas putih tersebut. Apakah dengan kebaikan, ataukah dengan keburukan. Anak-anak memang membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Untuk anak-anak seusia mereka, wajar apabila masih banyak melakukan kesalahan. Kita yang sudah dewasa dan mengerti sudah sepatutnyalah membimbing dan mengarahkan mereka untuk menjadi lebih baik. Pada awalnya memang terasa berat. Tetapi pelan-pelan, semakin kita mengenal anak-anak, memahami dunia mereka, mengerti keinginan mereka, rasanya semakin nyaman berada bersama mereka. Belajar mengenal dunia mereka, bagaimana latarbelakang mereka. Disinilah aku baru mengetahui beberapa anak-anak ini adalah anak yatim piatu. Ada anak yang orang tuanya sudah meninggal dunia, ada pula anak yang ibunya pergi entah kemana. Tersentuh hatiku mengetahui latar belakang kehidupan mereka.
Anak-anak memang sangat butuh perhatian. Terutama untuk anak-anak yang telah kehilangan ayah dan ibu mereka. Beberapa diantara mereka yang masih sangat dini sudah harus menjadi anak yatim. Bagaimana tidak, anak-anak sesuai mereka yang masih haus akan kasih sayang dari orang tua  dan perhatian tetapi justru tidak mendapatkannya. Itulah kenapa saat kehadiran kami disini, ada-ada saja kelakuan anak-anak ini untuk menarik perhatian.
Kurang lebih 2 minggu bersama mereka, aku semakin banyak belajar dari mereka. Setiap anak mempunyai latar belakang yang berbeda, kehidupan masa kecil yang berbeda. Setelah mengenal mereka, aku menjadi semakin bersyukur. Tidak semua anak beruntung masih mempunyai orangtua. Tidak semua anak beruntung selalu diperhatikan oleh orang tua.
Terimakasih ‘anak-anakku’. Kalian menyukai kehadiran kami disini. Walaupun pada awalnya tidak mudah untuk kita saling bersatu. Terimakasih sudah perhatian terhadapaku. Menelponku saat aku datang terlambat TPA. Menanyakan keberadaanku saat aku absen tidak hadir belajar bersama kalian. Terimakasih sudah menjadi ‘anak baik’. Seterusnya jangan ‘bandel’ laginya. Selamanya harus selalu begitu.
Selama berada disini, aku tidak berharap lebih bagaimana pandangan warga atas kehadiran kami. Apakah warga sekitar masih tidak menyukai atau menyukai kehadiran kami. Aku dan rekan-rekan berusaha semampu dan semaksimal mungkin membantu anak-anak. Memberikan perhatian, bermain, belajar, mengaji, menyanyi, bercerita, dan lain sebagainya. Hari demi hari terasa semakin akrab dengan mereka.
Kita mungkin tidak bisa merubah dunia di sekitar kita, tapi kita bisa merubah diri kita sendiri. Kita mungkin kesulitan meluruskan persepsi orang-orang tentang diri kita, tapi kita bisa meluruskan persepsi kita tentang mereka. Karena nya, aku belajar untuk memulainya dari diri sendiri.
Dwi Ismayati

Jumat, 19 Juni 2015

17 Juni 2015 - Ramadhan - kuatkan hati, sabar, ikhlas



17 Juni 2015 - Ramadhan
Selamat datang Ramadhan. Alhamdulillah Allah masih memberikanku kesempatan untuk bertemu lagi dengan bulan suci Ramadhan. Sama seperti Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, inshaAllah Ramadhan selalu memberikan banyak keberkahan dan pelajaran dalam hidup. Tetapi Ramadhan tahun ini terasa sangat jauh berbeda.
Ramadhan jauh dari keluarga? Itu sih sudah biasa saja. Ini tahun ke-3 aku menjalani Ramadhan di tanah rantau. Puasa tanpa sahur, karena malas masak atau malas untuk sekadar keluar kos membeli makanan, atau kebablasan baru bangun tidur setelah mendengar adzan subuh? Puasa tanpa sahur bukan masalah besar untukku. Tetapi Ramadhan tahun ini sungguh terasa seperti sedang berada pada sebuah pengasingan, dimana aku belum pernah merasakan Ramadhan di tempat ini.
Bagaimana tidak. Untuk pertama kalinya pada bulan Ramadhan aku melaksanakan sholat sunnah tarawih tidak di masjid atau musholla, tetapi hanya dalam sebuah gedung kosong kecil dengan menggelar tikar. Ini kali pertama aku sholat sunnah tarawih berjamaah bersama kurang lebih 6 orang rekanku (semua wanita) dengan semua jamaah anak-anak. Anak-anak kecil usia PAUD, TK, dan anak-anak dibawah kelas 4 SD.
Imam? Tentu saja kami bertujuh para wanita setiap harinya bergantian menjadi imam dan bergantian mengisi Qultum. Sungguh luar biasa bagaimana harus sabarnya menghadapi situasi seperti ini.
Ya ampun, hari pertama tarawih sudah dituntut untuk mengendalikan diri agar super sabar dan dipaksa untuk memeras otak bagaimana menghadapi jamaah yang kurang lebih 30 anak yang sangat luar biasa ‘hyperaktif’ ini. Loncat sana, loncat sini, lari sana, lari sini sembari teriak-teriak. Suara imampun kalah dengan suara jeritan anak-anak ini. Lihatlah bagaimana bahagianya ‘dunia anak’ bagi mereka.
Lebih menyedihkan lagi saat seorang anak laki-laki loncat ke atas punggung imam (perempuan) yang sedang sholat. Tidak hanya itu. Ketika aku duduk diantara dua sujud, seorang anak perempun tiba-tiba tidur di pangkuanku. Atau mungkin pada saat aku akan sujud, seorang anak menari-nari di atas sajadahku dan anak lainnya berlarian di depanku. Anak-anak lain yang sedang ‘belajar’ mengikuti gerakan sholat imam, teriak-teriak mengikuti bacaan sholat imam. Belum lagi suara tangisan anak-anak yang sedang bertengkar.
Tidak berhenti sampai disitu kehebohan tarawih yang dilakukan anak-anak ini. Suara petasan yang mereka mainkan sahut-menyahutnya tiada henti. Jantung rasanya mau copot.
Selanjutnya seorang rekanku memberikan Qultum kepada anak-anak ini, yaitu mengajarkan anak-anak tentang doa dan akhlak. Tetapi untuk mengisi Qultum-pun tidak mudah. Tidak ada satupun dari mereka yang mendengarkan. Mereka asyik dengan dunianya sendiri. Dinasehati? Sudah. Berkali-kali dinasehati tetapi tetap saja ‘berisik’. Bahkan ada anak yang loncat dan jingkrang-jingkrak di belakang ustadzah sembari memperagakan gerakan yang aneh-aneh seolah sedang mengejek ustadzah yang sedang menyampaikan Qultum. Dimarahi? Mau dimarahi bagaimana lagi? Sampai-sampai kami yang memarahi mereka pun sudah lelah.
Maka, malam itu kami berusaha membuat perlombaan dengan memberikan reward kepada pemenangnya. Setiap kali sholat berjamaah (khususnya sholat tarawih), mereka harus tenang dan menjadi ‘anak baik’. Setiap anak yang menjadi anak baik, akan mendapatkan satu buah cap bintang. Maka setiap minggu nya, kami akan memeriksa siapa saja anak yang mendapatkan bintang paling banyak dan dinyatakan sebagai pemenangnya. Pemenangnya akan mendapatkan hadiah. Tetapi siapa yang peduli dengan itu semua? Mereka mendengarkan pun tidak.
Tidak hanya masalah tarawih yang membuat kami terus memeras otak. Pada pendampingan TPA mereka semakin menjadi-jadi. Bagaikan TPA adalah ‘markas’ mereka. Pendampigan TPA telah berjalan beberapa hari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Kami mencoba mendampingi, mengarahkan dan mengajarkan mereka mengaji, sholat dan tentang islam pada kegiatan pendampingan TPA. Tetapi mereka hanya mementingkan bermain. Belajar? Buat apa, pikir mereka. Belajar hanyalah buang-buang waktu. Belajar itu melelahkan dan membosankan. Ya, dunia anak memang dunia bermain. Sekali lagi kami mencoba trik untuk pendampingan TPA dengan dunia bermain. Games education, bermain sambil belajar. Bernyanyi, mewarnai, bercerita, dan kegiatan lainnya.
Ide menjalankan games education  pada pendampingan TPA berjalan cukup baik. Pelan-pelan anak-anak mulai dapat diarahkan. Tetapi namanya juga anak-anak. Tidak lepas dari bersaing dengan teman, rebutan mainan sampai rebutan ‘ustadzah’. Nangis sana, nangis sini, bertengkar, bahkan ada yang sampai jatuh terluka. Anak-anak ini masih sama seperti saat aku pertama kali mengenal mereka. Hiperaktif.
Tidak sampai disitu perjuangan kami. Aku dan rekan-rekan mengadakan suatu perlombaan lagi untuk anak-anak ini. Untuk kali ini mencoba ruang lingkup lomba lebih besar, kami bekerja sama dengan TPA-TPA lain. “Lomba Anak Sholeh”
“Lomba Anak Sholeh” akan diadakan setelah hari raya idul fitri. Lomba Anak Sholeh diikuti dari berbagai TPA, Masjid dan Musholla lainnya. Dengan alasan lomba ini, kami mengajarkan anak-anak tentang solidaritas. Mereka disini semua teman, mereka adalah satu tim. Mereka bukanlah saingan. Saingan mereka adalah mushola/masjid/TPA lain. Anak-anak harus saling membantu satu sama lain. Disinilah pelan-pelan mereka mulai saling peduli satu sama lain. Setidaknya masalah pertengkaran kecil anak-anak mulai berkurang.
Dengan adanya lomba anak sholeh ini, anak-anak sedikit ada rasa antusias tentang belajar. Tetapi ekspektasi mereka terlalu tinggi. “Nanti lombanya masuk tv ya mba? Aku mau masuk tv. Terus nanti kalau menang dapat hadiah apa? Aku mau sepeda, atau dapat android? Aku mau handphone, tab, apalagi ya?” Entah macam-macam gadget mereka sebutkan. Anak jaman sekarang, mainannya gadget. Anak yang belum sekolahpun sudah mengerti gadget. Wajarlah, jaman sekarang dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, gadget sudah semakin mudah didapatkan. Tidak perlu banyak mengeluarkan uang, dengan harga murahpun sudah bisa mendapatkan gadget. Membeli gadget sudah seperti membeli ‘gorengan’. Bertabur dimana-mana.
Meskipun begitu, pada kenyataannya ‘lomba anak sholeh’ yang kami selenggarakan tidak se-wow yang anak-anak ini bayangkan. Tidak ada wartawan atau televisi yang akan datang meliput kegiatan ini. Tidak ada hadiah gadget dan lain sebagainya. Kegiatan yang kami selenggarakan sederhana. Hadiah hanya berupa tropi, piagam dan beberapa alat-tulis untuk menunjang pendidikan mereka. Setidaknya kami ingin kegiatan ini bermanfaat. Terlepas dari itu semua, kendala dana yang kami miliki sebenarnya tidak cukup jika menghadiahkan gadget kepada para pemenang.
Toh, untuk anak-anak seusia mereka, gadget belumlah terlalu penting. Untuk main games? Buat apa? Games pada gadget justru kebanyakan menjadikan mereka seseorang yang individual. Belum lagi radiasi dari gadget tidak baik untuk masa pertumbuhan anak-anak. Karena itu, kami mengajak anak-anak dengan permainan tradisional. Mulai dari permainan ular tangga, congklak, gobak sodor, dan masih banyak permainan tradisional lainnya. Tidak berhenti sampai disitu. Kami menjalani hari-hari di TPA bersama anak-anak dengan menyanyi, senam, mewarnai, bahkan sampai mengadakan pendampingan bimbingan belajar.
Semakin menjalani rutinitas ini, aku semakin merasakan bahwa menjadi guru itu tidak mudah. Terutama menghadapi anak-anak nakal. Ngeyelnya minta ampun. Bandel. Saat kita peduli akan kebaikan mereka, apakah mereka sendiri peduli dengan kebaikan mereka?
Ingin rasanya memberi  hukuman untuk anak-anak nakal. Setidaknya mereka mengerti, yang salah itu tidak baik. Tapi itu tidak mungkin. Justru kita yang akan dimarahi oleh orang tua mereka. Aku dan rekan-rekan beberapa kali mengunjungi takmir mushola untuk meminta saran, pendapat dan masukan mengenai kegiatan kami disini. Takmir musholla di lingkungan ini adalah seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri. Beliau telah tinggal di lingkungan ini kurang lebih 9 tahun. Setidaknya beliau jauh lebih mengenal warga sekitar dan beliau adalah salah satu orang yang disegani di wilayah ini.
“Warga disini memang agak sedikit berbeda pemikirannya. Kita harus memahami bagaimana pemikiran kebanyakan warga. Apapun yang kita lakukan, kita lah yang salah. Kita disini hanya mengikuti apa yang memang sudah ada. Saya dan Istri saya pernah mencoba mendirikan TPA disini. Tetapi cukup berat menjalankannya. Warga disini kurang antusias. Terkadang anak-anak mereka tidak mereka pedulikan. Apakah sudah mandi atau belum saat pergi TPA. Apakah anak-anak mereka berangkat TPA atau tidak. Bagaimana pakaian anak-anak saat mengikuti TPA? Berbusana muslim atau hanya sekadar memakai celana pendek dengan kaos oblong?
Tetapi pada saat anak-anak TPA ada yang bertangkar, menangis, berselisih paham dengan temannya, orang tua mereka justru menyalahkan ustad dan ustadzah. Ustadnya ngapain aja toh, loh kok gak ngurusin santrinya?” Penuturan jelas dari takmir membuat kami belajar memahami situasi seperti ini.
Seminggu pertama di lokasi ini, aku dan rekan-rekan kembali mendapat masalah. Warga berbicara pada kami bahwa warga ingin men’demo karena keberadaan kami disini. Semenjak keberadaan kami disini, anak-anak semakin sering datang ke musholla dan meramaikan musholla. Belum lagi suara berisik yang ditimbulkan dan teriakan-teriakan anak-anak. Sungguh, bergetar rasa hati mendengarnya. Aku dan rekan-rekan disini mempunyai maksud dan tujuan yang baik. Kami berada di sini pun karena kewajiban kami yang ditugaskan dalam pengabdian masyarakat. Setiap harinya kami berada disini hanya sore sampai malam hari. Setelah itu pulang dan menjalani rutinitas kami masing-masing. Kami tidak setiap detik berada di lokasi, menginappun tidak. Tetapi, sebegitu mengganggu nya kah kami?  Entah, aku bingung harus bagaimana lagi.
Kembali, kami mengunjungi takmir musholla untuk meminta saran mengenai masalah ini. Ya, nasehat pak takmir cukup membuat hati kami tenang. InshaAllah takmir akan melindungi kami, tidak akan ada demo dari warga. Pak Takmir justru berterimakasih, karena kehadiran kami musholla terasa hidup kembali. Anak-anak senang untuk bermain dan belajar di musholla. Untuk warga yang protes karena kehadiran kami, pelan-pelan pak takmir akan membantu kami berbicara dengan warga. Anak-anak berisik? Ya namanya juga anak-anak, memang biasanya begitu. Anak-anak nakal dan tidak bisa diatur? Kenapa harus menyalahkan orang lain? Bukankah itu anak mereka? Sekolah pertama bagi seorang anak adalah orang tua, keluarga, dan di rumah. Bukankah memang sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mendidik anak? Anak-anak mereka sekarang semakin suka bermain ke musholla karena kehadiran kami? Anak-anak lebih suka bermain dengan kami daripada dengan orang tua mereka sendiri? Apa itu salah kami? Jika memang orang tua tidak menyukai anak-anaknya untuk bermain dengan kami, kenapa tidak ‘dikurung’ saja anaknya di dalam rumah?
Idealis boleh, tapi idealis tidak selamanya bisa terus dipakai. Lihat juga bagaimana realitanya. Idealis tidak bisa dipakai dimanapun. Kita tidak bisa mengatur orang lain, mempertahankan pendapat dan keinginan kita dan memaksa orang lain melakukan apa yang kita inginkan. Harus belajar memahami situasi.
Saat kita ditugaskan untuk datang ke suatu tempat yang (maaf) jauh dari rasa peduli, pendidikan, disiplin dan agama. Kita tidak harus merubah segala sesuatunya menjadinya lebih baik. Apalagi jika itu sudah menjadi ‘budaya’ mereka bertahun-tahun. Impossible. Tapi dengan kehadiran kita disana, setidaknya kita bisa sedikit mengarahkan menjadi lebih baik.
Sekarang aku paham. Lebih baik dimarahi habis-habisan karena melakukan kesalahan kemudian berusaha memperbaikinya. Daripada hanya dibiarkan saja melakukan kesalahan dan seterusnya akan terus melakukan kesalahan. Dimarahi? Itu tandanya sesorang masih peduli. Dibiarkan saja? Sungguh, ternyata itu lebih menyakitkan.
Terkadang seseorang apatis, karena idealis itu menyakitkan.
Terkadang seseorang berhenti peduli, karena dia pernah sangat peduli tetapi kepeduliannya tidak dihargai. Sakit.
Kita berjuang mati-matian, demi kebaikan mereka. Tapi apa yang kita dapat? Cacian dari mereka? Sakit hati saja kita mendengarnya.
Ayah, ibu, keluarga, guru-guru dan semua teman-temanku tercinta. Terimakasih karena kalian selalu peduli. Mengajarkan dan mengingatkan ku dalam kebaikan. Memarahai ku setiap aku melakukan kesalahan, menasehati tentang keburukanku, mengkritik kesalahanku, bangga atas prestasiku. Sungguh, semua itu lebih indah daripada hanya dibiarkan saja. Tidak peduli.