17 Juni 2015 - Ramadhan
Selamat datang
Ramadhan. Alhamdulillah Allah masih memberikanku kesempatan untuk bertemu lagi
dengan bulan suci Ramadhan. Sama seperti Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, inshaAllah
Ramadhan selalu memberikan banyak keberkahan dan pelajaran dalam hidup. Tetapi
Ramadhan tahun ini terasa sangat jauh berbeda.
Ramadhan jauh dari
keluarga? Itu sih sudah biasa saja. Ini tahun ke-3 aku menjalani Ramadhan di
tanah rantau. Puasa tanpa sahur, karena malas masak atau malas untuk sekadar keluar
kos membeli makanan, atau kebablasan baru bangun tidur setelah mendengar adzan
subuh? Puasa tanpa sahur bukan masalah besar untukku. Tetapi Ramadhan tahun ini
sungguh terasa seperti sedang berada pada sebuah pengasingan, dimana aku belum
pernah merasakan Ramadhan di tempat ini.
Bagaimana tidak. Untuk
pertama kalinya pada bulan Ramadhan aku melaksanakan sholat sunnah tarawih
tidak di masjid atau musholla, tetapi hanya dalam sebuah gedung kosong kecil
dengan menggelar tikar. Ini kali pertama aku sholat sunnah tarawih berjamaah bersama
kurang lebih 6 orang rekanku (semua wanita) dengan semua jamaah anak-anak. Anak-anak
kecil usia PAUD, TK, dan anak-anak dibawah kelas 4 SD.
Imam? Tentu saja kami
bertujuh para wanita setiap harinya bergantian menjadi imam dan bergantian
mengisi Qultum. Sungguh luar biasa bagaimana harus sabarnya menghadapi situasi
seperti ini.
Ya ampun, hari pertama
tarawih sudah dituntut untuk mengendalikan diri agar super sabar dan dipaksa
untuk memeras otak bagaimana menghadapi jamaah yang kurang lebih 30 anak yang sangat
luar biasa ‘hyperaktif’ ini. Loncat sana, loncat sini, lari sana, lari sini
sembari teriak-teriak. Suara imampun kalah dengan suara jeritan anak-anak ini. Lihatlah
bagaimana bahagianya ‘dunia anak’ bagi mereka.
Lebih menyedihkan lagi
saat seorang anak laki-laki loncat ke atas punggung imam (perempuan) yang
sedang sholat. Tidak hanya itu. Ketika aku duduk diantara dua sujud, seorang
anak perempun tiba-tiba tidur di pangkuanku. Atau mungkin pada saat aku akan
sujud, seorang anak menari-nari di atas sajadahku dan anak lainnya berlarian di
depanku. Anak-anak lain yang sedang ‘belajar’ mengikuti gerakan sholat imam,
teriak-teriak mengikuti bacaan sholat imam. Belum lagi suara tangisan anak-anak
yang sedang bertengkar.
Tidak berhenti sampai
disitu kehebohan tarawih yang dilakukan anak-anak ini. Suara petasan yang
mereka mainkan sahut-menyahutnya tiada henti. Jantung rasanya mau copot.
Selanjutnya seorang
rekanku memberikan Qultum kepada anak-anak ini, yaitu mengajarkan anak-anak
tentang doa dan akhlak. Tetapi untuk mengisi Qultum-pun tidak mudah. Tidak ada
satupun dari mereka yang mendengarkan. Mereka asyik dengan dunianya sendiri.
Dinasehati? Sudah. Berkali-kali dinasehati tetapi tetap saja ‘berisik’. Bahkan
ada anak yang loncat dan jingkrang-jingkrak di belakang ustadzah sembari
memperagakan gerakan yang aneh-aneh seolah sedang mengejek ustadzah yang sedang
menyampaikan Qultum. Dimarahi? Mau dimarahi bagaimana lagi? Sampai-sampai kami
yang memarahi mereka pun sudah lelah.
Maka, malam itu kami berusaha
membuat perlombaan dengan memberikan reward kepada pemenangnya. Setiap kali
sholat berjamaah (khususnya sholat tarawih), mereka harus tenang dan menjadi ‘anak
baik’. Setiap anak yang menjadi anak baik, akan mendapatkan satu buah cap
bintang. Maka setiap minggu nya, kami akan memeriksa siapa saja anak yang
mendapatkan bintang paling banyak dan dinyatakan sebagai pemenangnya.
Pemenangnya akan mendapatkan hadiah. Tetapi siapa yang peduli dengan itu semua?
Mereka mendengarkan pun tidak.
Tidak hanya masalah
tarawih yang membuat kami terus memeras otak. Pada pendampingan TPA mereka
semakin menjadi-jadi. Bagaikan TPA adalah ‘markas’ mereka. Pendampigan TPA
telah berjalan beberapa hari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Kami mencoba
mendampingi, mengarahkan dan mengajarkan mereka mengaji, sholat dan tentang
islam pada kegiatan pendampingan TPA. Tetapi mereka hanya mementingkan bermain.
Belajar? Buat apa, pikir mereka. Belajar hanyalah buang-buang waktu. Belajar
itu melelahkan dan membosankan. Ya, dunia anak memang dunia bermain. Sekali
lagi kami mencoba trik untuk pendampingan TPA dengan dunia bermain. Games
education, bermain sambil belajar. Bernyanyi, mewarnai, bercerita, dan kegiatan
lainnya.
Ide menjalankan games
education pada pendampingan TPA berjalan
cukup baik. Pelan-pelan anak-anak mulai dapat diarahkan. Tetapi namanya juga
anak-anak. Tidak lepas dari bersaing dengan teman, rebutan mainan sampai
rebutan ‘ustadzah’. Nangis sana, nangis sini, bertengkar, bahkan ada yang
sampai jatuh terluka. Anak-anak ini masih sama seperti saat aku pertama kali
mengenal mereka. Hiperaktif.
Tidak sampai disitu
perjuangan kami. Aku dan rekan-rekan mengadakan suatu perlombaan lagi untuk
anak-anak ini. Untuk kali ini mencoba ruang lingkup lomba lebih besar, kami
bekerja sama dengan TPA-TPA lain. “Lomba Anak Sholeh”
“Lomba Anak Sholeh”
akan diadakan setelah hari raya idul fitri. Lomba Anak Sholeh diikuti dari
berbagai TPA, Masjid dan Musholla lainnya. Dengan alasan lomba ini, kami
mengajarkan anak-anak tentang solidaritas. Mereka disini semua teman, mereka
adalah satu tim. Mereka bukanlah saingan. Saingan mereka adalah
mushola/masjid/TPA lain. Anak-anak harus saling membantu satu sama lain.
Disinilah pelan-pelan mereka mulai saling peduli satu sama lain. Setidaknya
masalah pertengkaran kecil anak-anak mulai berkurang.
Dengan adanya lomba
anak sholeh ini, anak-anak sedikit ada rasa antusias tentang belajar. Tetapi
ekspektasi mereka terlalu tinggi. “Nanti lombanya masuk tv ya mba? Aku mau
masuk tv. Terus nanti kalau menang dapat hadiah apa? Aku mau sepeda, atau dapat
android? Aku mau handphone, tab, apalagi ya?” Entah macam-macam gadget mereka
sebutkan. Anak jaman sekarang, mainannya gadget. Anak yang belum sekolahpun sudah
mengerti gadget. Wajarlah, jaman sekarang dengan perkembangan dan kemajuan teknologi,
gadget sudah semakin mudah didapatkan. Tidak perlu banyak mengeluarkan uang,
dengan harga murahpun sudah bisa mendapatkan gadget. Membeli gadget sudah
seperti membeli ‘gorengan’. Bertabur dimana-mana.
Meskipun begitu, pada
kenyataannya ‘lomba anak sholeh’ yang kami selenggarakan tidak se-wow yang
anak-anak ini bayangkan. Tidak ada wartawan atau televisi yang akan datang
meliput kegiatan ini. Tidak ada hadiah gadget dan lain sebagainya. Kegiatan
yang kami selenggarakan sederhana. Hadiah hanya berupa tropi, piagam dan
beberapa alat-tulis untuk menunjang pendidikan mereka. Setidaknya kami ingin
kegiatan ini bermanfaat. Terlepas dari itu semua, kendala dana yang kami miliki
sebenarnya tidak cukup jika menghadiahkan gadget kepada para pemenang.
Toh, untuk anak-anak
seusia mereka, gadget belumlah terlalu penting. Untuk main games? Buat apa?
Games pada gadget justru kebanyakan menjadikan mereka seseorang yang
individual. Belum lagi radiasi dari gadget tidak baik untuk masa pertumbuhan anak-anak.
Karena itu, kami mengajak anak-anak dengan permainan tradisional. Mulai dari
permainan ular tangga, congklak, gobak sodor, dan masih banyak permainan
tradisional lainnya. Tidak berhenti sampai disitu. Kami menjalani hari-hari di
TPA bersama anak-anak dengan menyanyi, senam, mewarnai, bahkan sampai
mengadakan pendampingan bimbingan belajar.
Semakin menjalani
rutinitas ini, aku semakin merasakan bahwa menjadi guru itu tidak mudah.
Terutama menghadapi anak-anak nakal. Ngeyelnya minta ampun. Bandel. Saat kita
peduli akan kebaikan mereka, apakah mereka sendiri peduli dengan kebaikan
mereka?
Ingin rasanya
memberi hukuman untuk anak-anak nakal.
Setidaknya mereka mengerti, yang salah itu tidak baik. Tapi itu tidak mungkin.
Justru kita yang akan dimarahi oleh orang tua mereka. Aku dan rekan-rekan
beberapa kali mengunjungi takmir mushola untuk meminta saran, pendapat dan
masukan mengenai kegiatan kami disini. Takmir musholla di lingkungan ini adalah
seorang dosen di salah satu perguruan tinggi negeri. Beliau telah tinggal di
lingkungan ini kurang lebih 9 tahun. Setidaknya beliau jauh lebih mengenal
warga sekitar dan beliau adalah salah satu orang yang disegani di wilayah ini.
“Warga disini memang
agak sedikit berbeda pemikirannya. Kita harus memahami bagaimana pemikiran
kebanyakan warga. Apapun yang kita lakukan, kita lah yang salah. Kita disini
hanya mengikuti apa yang memang sudah ada. Saya dan Istri saya pernah mencoba
mendirikan TPA disini. Tetapi cukup berat menjalankannya. Warga disini kurang
antusias. Terkadang anak-anak mereka tidak mereka pedulikan. Apakah sudah mandi
atau belum saat pergi TPA. Apakah anak-anak mereka berangkat TPA atau tidak.
Bagaimana pakaian anak-anak saat mengikuti TPA? Berbusana muslim atau hanya
sekadar memakai celana pendek dengan kaos oblong?
Tetapi pada saat
anak-anak TPA ada yang bertangkar, menangis, berselisih paham dengan temannya,
orang tua mereka justru menyalahkan ustad dan ustadzah. Ustadnya ngapain aja
toh, loh kok gak ngurusin santrinya?” Penuturan jelas dari takmir membuat kami
belajar memahami situasi seperti ini.
Seminggu pertama di
lokasi ini, aku dan rekan-rekan kembali mendapat masalah. Warga berbicara pada
kami bahwa warga ingin men’demo karena keberadaan kami disini. Semenjak
keberadaan kami disini, anak-anak semakin sering datang ke musholla dan
meramaikan musholla. Belum lagi suara berisik yang ditimbulkan dan
teriakan-teriakan anak-anak. Sungguh, bergetar rasa hati mendengarnya. Aku dan
rekan-rekan disini mempunyai maksud dan tujuan yang baik. Kami berada di sini
pun karena kewajiban kami yang ditugaskan dalam pengabdian masyarakat. Setiap
harinya kami berada disini hanya sore sampai malam hari. Setelah itu pulang dan
menjalani rutinitas kami masing-masing. Kami tidak setiap detik berada di
lokasi, menginappun tidak. Tetapi, sebegitu mengganggu nya kah kami? Entah, aku bingung harus bagaimana lagi.
Kembali, kami
mengunjungi takmir musholla untuk meminta saran mengenai masalah ini. Ya,
nasehat pak takmir cukup membuat hati kami tenang. InshaAllah takmir akan
melindungi kami, tidak akan ada demo dari warga. Pak Takmir justru berterimakasih,
karena kehadiran kami musholla terasa hidup kembali. Anak-anak senang untuk bermain
dan belajar di musholla. Untuk warga yang protes karena kehadiran kami,
pelan-pelan pak takmir akan membantu kami berbicara dengan warga. Anak-anak
berisik? Ya namanya juga anak-anak, memang biasanya begitu. Anak-anak nakal dan
tidak bisa diatur? Kenapa harus menyalahkan orang lain? Bukankah itu anak
mereka? Sekolah pertama bagi seorang anak adalah orang tua, keluarga, dan di
rumah. Bukankah memang sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mendidik anak?
Anak-anak mereka sekarang semakin suka bermain ke musholla karena kehadiran
kami? Anak-anak lebih suka bermain dengan kami daripada dengan orang tua mereka
sendiri? Apa itu salah kami? Jika memang orang tua tidak menyukai anak-anaknya
untuk bermain dengan kami, kenapa tidak ‘dikurung’ saja anaknya di dalam rumah?
Idealis boleh, tapi
idealis tidak selamanya bisa terus dipakai. Lihat juga bagaimana realitanya.
Idealis tidak bisa dipakai dimanapun. Kita tidak bisa mengatur orang lain,
mempertahankan pendapat dan keinginan kita dan memaksa orang lain melakukan apa
yang kita inginkan. Harus belajar memahami situasi.
Saat kita ditugaskan
untuk datang ke suatu tempat yang (maaf) jauh dari rasa peduli, pendidikan,
disiplin dan agama. Kita tidak harus merubah segala sesuatunya menjadinya lebih
baik. Apalagi jika itu sudah menjadi ‘budaya’ mereka bertahun-tahun.
Impossible. Tapi dengan kehadiran kita disana, setidaknya kita bisa sedikit
mengarahkan menjadi lebih baik.
Sekarang aku paham.
Lebih baik dimarahi habis-habisan karena melakukan kesalahan kemudian berusaha
memperbaikinya. Daripada hanya dibiarkan saja melakukan kesalahan dan
seterusnya akan terus melakukan kesalahan. Dimarahi? Itu tandanya sesorang
masih peduli. Dibiarkan saja? Sungguh, ternyata itu lebih menyakitkan.
Terkadang seseorang
apatis, karena idealis itu menyakitkan.
Terkadang seseorang
berhenti peduli, karena dia pernah sangat peduli tetapi kepeduliannya tidak
dihargai. Sakit.
Kita berjuang
mati-matian, demi kebaikan mereka. Tapi apa yang kita dapat? Cacian dari
mereka? Sakit hati saja kita mendengarnya.
Ayah, ibu, keluarga,
guru-guru dan semua teman-temanku tercinta. Terimakasih karena kalian selalu
peduli. Mengajarkan dan mengingatkan ku dalam kebaikan. Memarahai ku setiap aku
melakukan kesalahan, menasehati tentang keburukanku, mengkritik kesalahanku,
bangga atas prestasiku. Sungguh, semua itu lebih indah daripada hanya dibiarkan
saja. Tidak peduli.