Selasa, 01 Agustus 2017

Belajar lamar kerja - 2

To whom it may concern
I’m writing to apply for the .... position advertised in the .....
The opportunity presented in this listing is very interesting me and I believe your criteria requirement match with me well.

For more details about my background and my experience I had enclosing my CV.

I look forward to hearing from you and I would enjoy speaking with you in person to discuss about this employment opportunity.
Thank you for your kind attention and consideration.


Yous sincerely,



Dwi Ismayati


Kamis, 09 Februari 2017

ANTIBIOTIKA DI YOGYAKARTA

Saya Dwi Ismayati (Apoteker Muda) Mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker Universitas Ahmad Dahlan angkatan 32. Saya didiagnosa sinusitis oleh dokter spesialis THT (tidak berbahaya tetapi cukup mengganggu). Saya pergi ke apotek untuk membeli amoxicillin sebagai treatment sinusitis saya.

AA: silahkan mba, ada yang bisa dibantu?
Saya: Gini mba, saya kan sinusitis dan sudah dari dokter. Nah, obatnya kan amoxicillin, sedangkan saya gak bawa obatnya mba. Saya mau beli disini mba.
AA: wah maaf mba, antibiotik harus pake resep dokter.
Saya: Tapi saya kan sudah dari dokter mba, nah ini kan mendesak karena saya gak bawa obatnya mba. Toh belum ada aturan tertulis atau undang-undang yang mengatur tentang antibiotik harus dengan resep dokter. (*muka senyum sedikit melas biar dijual antibiotik nya)
AA: ada kok mba undang-undang yang mengatur nya, mba
Saya: oh, sekarang sudah ada undang-undang yang mengatur ya mba. Saya malah belum tau. Baru ya mba?
AA: iya baru mba aturannya
Saya: iya mba, kebetulan saya juga kan apoteker. Nah, setau saya mengenai antibiotik itu belum ada aturan tertulis nya, tapi ada nya himbauan dari menteri kesehatan untuk tidak menjual antibiotik dengan bebas. Karena dikhawatirkan resisten.
AA: oh, sebentar mba, saya panggilkan apotekernya dulu. (*masuk ke dalam)
Apoteker: Iya mba, gimana?
Saya: (*menjelaskan maksud dan tujuan)
Apoteker: Oh gitu mba. Tapi maaf mba, memang belum ada aturan tertulis nya. Tapi apotek kami sudah ada MOU nya dengan pemerintah jogja. Khusus jogja mba. Disini kami ada praktek dokter, tapi ada nya sore mba.
Saya: hmm, MOU ya mba. Jadi seluruh apotek di jogja sudah ada MOU nya dengan pemerintah tentang antibiotik, mba?
Apoteker: Belum tentu semua mba, ya apotek-apotek yang sudah tandatangan saja mba. Maaf saya gak bisa melanggar mba.
Saya: oke saya mengerti, terimakasih mba

(*keluar apotek, masih usaha cari apotek lain)

(*di apotek y)
AA: Ada yang bisa dibantu, mba?
(*percakapan sama dengan apotek sebelumnya)
AA: sebentar, saya panggilkan apotekernya
(*blaa.. Blaa.. Blaa)
Apoteker: udah minum antibiotik berapa tablet, mba?
Saya: sudah minum 2 tablet, mba. Nah, saya belum sempet buat ke dokter lagi mba.
Apoteker: Tapi maaf mba, saya gak berani kasih. Takut nanti gak ada data resepnya. Soalnya saya gak punya resep kosong. Coba mba ke apotek yang ada dokternya aja, nanti disana kan ada resepnya. Disana bisa bantu. (*Apotek ini tidak ada tanda tangan MOU mengenai antibiotik. Cuman gak berani, takut saat sidak katanya)
Saya: O gitu mba. Beneran gak bisa bantu ya. Terimakasih mba.

(kesimpulan: keren ya apotek jogja. Tapi kok kesannya pengelolaan antibiotik adalah R/ ya? Kita tahu, maksud pembelian antibiotik harus R/ supaya peredaraan antibiotik tidak sembarangan dan mengurangi resistensi antibiotik.
Hasil diskusi dengan Drs. Sarjo., Apt (Apoteker Pengelola Apotek Kimia Farma) sebenarnya jika kondisi mendesak seperti kejadian saya tadi, boleh diberikan antibiotik. Misalnya pasien dari luar kota, kemudian ada keperluan mendadak keluar kota dan sedang mengonsumsi antibiotik. Tetapi justru lupa membawa antibiotik yang seharusnya diminum sampai habis sesuai aturan. Apoteker di apotek lain boleh menjual antibiotik dengan catatan tetap memberikan edukasi, informasi bahkan memonitoring pasien. Karena justru jika tidak diberikan antibiotik, sedangkan pasien sudah minum 2 tablet dan tiba2 berhenti, kan justru meningkatkan resiko resistensi. Selain itu, harus dengan resep dokter. (maaf) apa memang iya R/ dokter bisa menjamin kemungkinan kecil resistensi? Apa semua dokter bisa menjamin bahwa pasien sebenarnya memang membutuhkan antibiotik? Saya katakan bahwa, ya karena dokter mengetahui kondisi pasien. Tetapi coba kita explore lagi, darimana dokter tahu pasien memang benar-benar membutuhkan antibiotik?
Ya jawabannya karena pasien terinfeksi bakteri. Lalu pertanyaan lagi, daeimana dokter tahu bahwa pasien terinfeksi bakteri? Dari cek darahkan? Bisa juga dengan kultur pus. Tapi apakah semua pasien dilakukan intervensi demikian oleh dokter sebelum diberikan treatment antibiotik? Tentu tidak. Tetapi dokter dapet mendiagnosa dari gejala-gejala pasien yang kemungkinan terinfeksi bakteri, bisa dilihat dari kondisi pasien seperti kalor, tumor, dolor, rubor dan fungsio laesa. Pasien dengan gejala-gejala seperti bisa diberikan antibiotik. Selain itu antibiotik juga bisa digunakan sebagai tindakan preventif (pencegahan).
Kembali ke kasus tadi. Berdasarkan pengalaman pribadi saya, saya salut dan bangga luar biasa dengan teman-teman sejawat saya. Besar harapan saya apotek di daerah-daerah lain diluar jogja menyusul seperti apotek di jogja dengan pengelolaan antibiotik yang baik, untuk meminimalisir terjadinya resistensi. Tetapi saya berharap jika menemukan kasus seperti saya diatas tadi yang memang membutuhkan antibiotik, kita bisa saling membantu. Yogyakarta memang daerah Istimewa


Yogyakarta, 09 Februari 2017
Dwi Ismayati., S. Farm (Apt soon)