Apa
artinya cinta jika hanya menggoreskan luka? Apa artinya cinta jika diperlakukan
dengan cara yang tidak tepat? Jika cinta memang suci, kenapa begitu banyak
orang dengan mudahnya mengobral cinta?
Membahas
cinta memang tidak akan ada habisnya. Setiap orang memiliki definisinya sendiri
tentang cinta. Sebenarnya cinta itu apa? Apakah cinta selalu berubah-ubah dari
satu insan ke insan lain, ataukah cinta selalu satu arah setia pada satu hati?
Apakah rasa nyaman sama dengan cinta? Ataukah perasaan deg-degan dan tak tentu
arah ketika berhadapan dengan lawan jenis disebut cinta? Jangan-jangan cinta
hanyalah sebuah kotak kosong yang dapat diisi oleh siapapun sesuka hati. Kotak
yang dapat diisi dengan kebahagiaan maupun luka. Tergantung pemiliknya dalam
memperlakukan cinta.
Ayah
bilang, membahas cinta bagi remaja SMA se-usiaku hanyalah sebatas ‘cinta
monyet’.
Sebut
saja namanya Reihan. Laki-laki berkulit hitam manis keturunan Arab yang kukenal
sejak Sekolah Dasar. Entah sejak kapan perasaan ini mulai ada. Semua tumbuh
begitu saja ketika aku memasuki masa pubertas di usia SMA. Tanpa ku sadari, aku
telah menyebarkan benih-benih ‘cinta monyet’ yang kemudian tumbuh, berkembang
dan pada akhirnya semakin besar.
Aku
menyukai setiap hal yang ada pada diri Reihan. Aku menyukai kelebihan dan
kekurangannya. Tawanya yang lepas seakan melukiskan bahwa hidupnya tidak pernah
memiliki beban. Selalu bahagia. Reihan tidak pernah ambil pusing dengan
masalah-masalah yang dianggapnya ‘sepele’. Selalu berpikiran positif dan
menyebarkan pengaruh-pengaruh positif kepada orang-orang di sekitarnya. Sosok ‘kekanak-kanakan’ yang masih
melekat pada dirinya menjadikannya seseorang yang gila dengan games. Reihan juga memiliki suara merdu
yang menyejukkan telinga ketika dia bernyanyi.
Tetapi
dibalik itu semua, dia bisa seketika berubah menjadi seseorang yang serius
ketika dihadapkan dengan basket, belajar maupun tugas. Dia tahu kapan harus
bercanda dan kapan waktu harus serius. Sikapnya yang aktif, ramah, supel serta
memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi menjadikannya seorang anggota OSIS dan
seorang kapten basket yang bertanggungjawab. Kemampuan akademisnya juga tidak
diragukan lagi, Reihan selalu masuk peringkat 10 besar di sekolah.
Kecintaannya
pada dunia games dan menyukai hal-hal
yang berkaitan dengan komputer membuat Reihan bercita-cita ingin menjadi
seorang programmer masa depan. Lebih
dari itu, Reihan juga ingin menjadi seorang pembuat games bahkan menjadi hacker
handal. Bisa dibilang hidupnya tidak bisa jauh dari komputer.
Satu
tahun duduk di kelas dua SMA kuhabiskan waktu ku untuk mengagumi sosoknya yang
berbeda dari laki-laki kebanyakan. Semakin aku mencoba menolak perasaanku
padanya, semakin sulit aku melupakannya. Aku mencintainya dalam diam. Kusimpan
rapat-rapat perasaan ini hingga tak ada seorang pun mengetahuinya kecuali
Tuhan.
Aku
selalu kaku untuk ngobrol langsung dengannya. Setiap kalimat yang keluar dari
bibir tipisnya bagaikan petir dahsyat yang menyambar hatiku. Sekali lagi
perasaan itu selalu ku tepis dengan teganya. Aku tidak boleh jatuh cinta. Aku
sudah berjanji kepada ibu bahwa aku tidak akan pernah berpacaran sebelum lulus
SMA. Kata ibu, pacaran saat remaja itu tidak ada manfaatnya dan hanya
membuang-buang waktu. Bagaimanapun juga sudah sepatutnya aku menepati janji.
Ibu selalu percaya bahwa aku selalu menjadi anak ibu yang baik.
AWAL KISAH
Setahun
sudah aku menjadi pemuja rahasia Reihan. Seminggu setelah kenaikan kelas tiga
SMA, kudengar kabar bahwa Reihan telah mempunyai seorang pacar.
Berita
mengenai Reihan telah memiliki pacar membuat hatiku hancur. Rasanya bagaikan
ada setumpuk paku menghantam jantungku. Paku-paku itu tertancap kuat hingga
membuat denyut jantungku terasa berdebar semakin kencang.
Dengan
egoisnya aku berdoa pada Tuhan agar Reihan secepatnya putus dengan pacarnya. Jika
aku tidak bisa memiliki Reihan, maka tidak pula orang lain. Ajaibnya, belum
genap seminggu Reihan jadian, aku mendengar bahwa mereka putus.
MENGINGKARI JANJI DENGAN IBU
Tuhan
memang baik, Ia mengaulkan doa ku lebih dari yang kuminta. Sabtu 21 agustus –
dua hari setelah Reihan putus – dia menyatakan cintanya kepadaku. Aku tak tahu
kenapa Reihan begitu cepat move on
dari mantan pacarnya dan kenapa Reihan justru memilihku. Tapi biarlah, aku tak
peduli. Toh itu hanya masa lalu Reihan. Kesempatan emas ini tidak akan ku
sia-siakan. Tanpa berpikir panjang, aku menerima cintanya. Aku resmi menjadi
pacar Reihan – tanpa peduli janji kepada ibu. Untuk menutupi kebohongan pada
ibu, aku memilih backstreet bersama
Reihan.
Meski
backstreet, rasa berdosa kepada ibu
tetap menghantui. Selama seminggu menjalani hubungan dengan Reihan, aku semakin
diselimuti perasaan gelisah. Perasaan bersalah kepada ibu akhirnya mempengaruhi
sikapku kepada Reihan. Alih-alih bersikap manis dan menyatakan sayang, justru
sikap cuek dan jutek yang kutunjukan kepada Reihan. Tidak sekalipun aku
menunjukkan rasa sayangku kepada nya. Jangankan ada kencan, jalan berdua, ataupun
ngobrol bersama, bahkan untuk sms Reihan pun aku bingung untuk membalasnya. Aku
hanya membalas pesan singkat Reihan dengan jawaban ‘ya’, ‘tidak’ atau menjawab
sekenanya. Pun aku tidak pernah ada keberanian untuk mengangkat telpon dari
Reihan. Ketika berhadapan langsung dengan Reihan saja, seluruh tubuhku bisa
bergetar seperti ada gempa bumi lokal di sekelilingku. Jantungku berdegup
kencang bagaikan ingin keluar dari persembunyian.
RASA SAKIT
Tiga
minggu berlalu. Kebahagiaan ku merasakan menjadi remaja seutuhnya tidak
berlangsung lama. Malam itu, sebuah pesan dari Reihan meluluh lantahkan
mimpi-mimpi ku tentang indahnya cinta.
“Assalamualaikum,
selamat malam sayang. Maaf jika kata-kata ku kasar. To the point aja ya. Aku gak cinta lagi sama kamu, aku gak bisa
lanjutin hubungan kita. Kamu perempuan yang baik, cantik, cerdas dan banyak
yang menyukaimu. Aku yakin, suatu saat kamu pasti mendapatkan seseorang yang
lebih baik dari aku. Setelah ini aku harap kita bisa berteman seperti
sebelumnya. Semoga setelah keputusan ini, gak ada air mata ya. Kalau kamu nangis
karena keputusan ini, aku lah orang yang paling bersalah. Ah, mungkin aku
terlalu ge-er ya, mana mungkin cewek setegar kamu nangis cuma gara-gara aku
yang bukan apa-apa ini. Selamat tinggal. Wassalam.”
Mata
bulat ku menatap kosong dinding-dinding kamar. Butiran bening itu mendesak
paksa keluar dari persembunyian, mengalir deras tak terbendung bagaikan air
terjun jatuh bebas terhempas ke sungai tanpa arah. Aku menarik nafas panjang
dan sejenak memejamkan mata, berharap semua yang terjadi hanya mimpi.
Belum
genap satu bulan aku putus dengan Reihan, belum sembuh luka yang ditorehkan
Reihan, sekali lagi aku mendengar kabar bahwa Reihan sudah menjalani hubungan
lagi dengan perempuan lain.
Sakit?
Tentu. Manusiawi jika aku merasakan sakit. Bagaikan deburan ombak dan gemuruh
petir menyambar menjadi satu didadaku saat mendengar berita itu. Berbagai macam
pertanyaan timbul dibenakku. Bagaimana bisa Reihan jadian dengan perempuan
lain? Bukankah selama ini dia hanya dekat denganku? Bukankah kedekatan diantara
kami merupakan suatu yang spesial? Atau mungkin, hanya aku sajalah yang merasa
ini spesial?
Rasa
sakit ini ribuan kali lipat lebih sakit daripada dilempari duri atau dihujani
batu sekalipun. Sekali lagi aku berdoa kepada Tuhan agar Reihan secepatnya
putus dengan pacar barunya. Meskipun begitu, tidak ada niatan sedikitpun dariku
untuk menggoda Reihan agar kembali kepada ku. Tugasku hanyalah menunggu. Aku
sangat yakin dalam hitungan hari Reihan akan putus. Aku yakin Reihan adalah
jodohku. Reihan adalah cinta sejatiku, bukan hanya ‘cinta monyet’ seperti yang ayah
bilang.
Berhari-berhari,
berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Reihan bahkan terlihat semakin mesra
dengan pacar barunya. Hatiku semakin sakit tatkala melihat mereka berpacaran
tepat di depan mataku. Setiap jam pulang sekolah, Reihan dengan sabarnya
menunggu perempuan itu keluar kelas dan mengantarkannya pulang. Sungguh,
pemandangan yang menyakitkan, membuatku malas bersekolah.
Tetapi
dibalik rasa sedih dan cemburuku kepada Reihan, aku tidak pernah menunjukkan
nya kepada siapapun. Aku tetap ceria dan tertawa bebas bersama teman-teman. Masa
remaja ku tetap indah bersama sahabat-sahabatku meskipun tanpa Reihan.
DIA KEMBALI
Demi
waktu, perlahan rasa sakit yang kurasakan pada Reihan berangsur membaik. Waktu
memang obat yang paling mujarab. Aku dan Reihan lulus SMA. Aku dan Reihan
melanjutkan kuliah di jurusan dan universitas yang berbeda, bahkan di kota yang
berbeda pula. Peluang besar bagiku untuk melupakanya. Jarak dan waktu akan
membantu membersihkan semua kenangan tentang Reihan.
Aku
mencoba hidup baru di perantauan. Teman baru, suasana baru dan sebagai
mahasiswi baru. Semua tanpa Reihan. Tidak ada Reihan, tidak ada cemburu dan
tidak ada pemandangan yang menyakitkan itu lagi.
Sebulan
resmi menjadi seorang mahasiswi. Sosok Reihan tiba-tiba hadir kembali ke dalam
hidupku. Reihan sudah putus. Aku tak pernah tahu kenapa Reihan putus dan aku
tak pernah mau tahu. Biarlah itu hanya masa lalu Reihan – meski aku juga masa
lalu nya. Mungkin Reihan putus karena dia tidak bisa melupakanku? Rasa percaya
diriku yang berlebihan mulai muncul. Tetapi dugaan ku tidak sepenuhnya salah.
Tanpa basi-basi Reihan memintaku menjadi kekasihnya kembali.
Niat
untuk melupakan Reihan semua gagal total. Cintaku kepada Reihan terlalu besar.
Bahkan teramat besar, lebih besar dari rasa sakit hatiku padanya. Aku selalu
memaafkan Reihan, terlepas dia minta maaf atau tidak. Selalu ada ruang spesial
untuk nya dihatiku. Meskipun begitu, aku tidak pernah lupa apa yang telah
terjadi antara aku dengannya. Karena sejatinya, memaafkan bukan berarti
melupakan.
Aku
kembali luluh. Aku tidak mampu menolak Reihan meskipun hanya dengan kata-kata
sederhananya. Aku berharap dengan adanya hubungan kedua ini dapat memperbaiki
hubungan kami sebelumnya.
Toh
sekarang aku sudah lulus SMA. Aku bukan seorang remaja SMA yang memiliki janji konyol
dengan ibu. Kini aku sorang mahasiswi, aku tahu baik-buruknya, pun aku bisa
melindungi diriku dari patah hati. Aku akan belajar menjadi pacar yang baik
untuk Reihan. Pelan-pelan, aku mulai berubah. Aku tidak lagi cuek seperti dulu. Kini aku lebih
perhatian dengan hubunganku.
DIA PERGI UNTUK HIJRAH
Tidak
terasa tiga bulan aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Reihan. Aku merasa
nyaman LDR-an dengan Reihan. Aku
tidak harus berhadapan langsung dengannya dan menunjukkan wajah ku yang merah
padam seperti kepiting rebus. Pun aku tidak perlu merasa tegang dan bergetar
ketika ngobrol dengannya. Menurutku ini adalah awal yang baik untukku belajar
mencintai dengan cara yang baik dan benar.
Tetapi
kemesraan itu tidak berlangsung lama. Masa lalu itu terulang lagi. Hanya tiga
bulan berhubungan jarak jauh, Reihan memutuskan untuk mengahiri hubungan ini.
Kali ini memang keputusan dewasa dari seorang Reihan.
Selama
beberapa bulan menjadi mahasiswa, Reihan banyak berubah. Reihan semakin sibuk.
Bukan hanya tugas kampus dan basket yang menyita waktunya, tetapi dia juga
sibuk mengikuti pengajian sana-sini. Waktu ku dengan Reihan untuk sekadar
sms-an memberi kabar semakin terbatas. Bahkan bisa seminggu sekali aku baru
bisa mendapat kabar dari Reihan. Tapi bagiku itu tidak masalah. Sejak SMA aku
maklum dengan kesibukannya. Apalagi setelah menjadi seorang mahasiswa, sudah
pasti kesibukan akan berlipat ganda.
Tetapi
bukan itu poin pentingnya. Reihan mulai semakin memahami agama – katanya. Mengikuti
pengajian dan Rohis di kampus. Alasannya ingin putus sederhana, bukan karena
tidak cinta lagi, bukan pula karena wanita lain. Semua itu karena pacaran tidak
ada manfaatnya. Lebih baik sama-sama belajar, menjadi mahasiswa yang baik di
kampus dan sama-sama menjalani amanah orang tua untuk menuntut ilmu di tanah
rantau. Jika memang jodoh tidak akan kemana.
Aku
bisa menerima alasan-alasan itu. Pada akhirnya aku putus dengan Reihan. Aku setuju
dengan alasannya nya. Jodoh sudah ada yang mengatur, tidak akan tertukar.
Aku
selalu yakin bahwa Reihan adalah jodohku. Aku yakin Reihan masih mencintaiku.
Justru karena cinta nya yang tulus lah akhirnya dia melepasku. Bukankah hakikat
mencintai adalah melepaskan? Reihan ingin menjaga cinta suci kami hingga ikatan
suci pernikahan menyatukan, bukan dengan cara pacaran. Aku akan menunggu Reihan
sebagaimana Reihan yang juga menungguku.
AKU TERGODA
Satu
tahun berlalu menjadi mahasiswi di tanah rantau. Kali ini benar-benar tanpa
Reihan. Aku hanya melakukan tugasku, yaitu menunggu. Menjaga diri agar tidak
saling tergoda. Aku selalu mendukung apapun yang dilakukan Reihan. Begitupun
dengan perjalanan hijrah nya menjadi seseorang yang lebih sholeh. Tidak ada
salahnya tidak pacaran saat ini. Toh nantinya Reihan akan menjadi imam ku yang
halal. Poin tambahan untuk Reihan jika ia sholeh, ia dapat membimbingku menjadi
lebih baik.
Tetapi
ternyata menunggu adalah hal yang melelahkan. Godaan terus saja datang.
Teman-temanku sudah memiliki pacar. Sedangkan aku tetap sendiri menunggu Reihan
yang entah bagaimana cerita dan kabarnya.
Tahun
kedua aku menjadi mahasiswi, akhirnya aku menerima lelaki baru dalam hidupku.
Dia adalah Romi, teman kampusku. Awalnya aku merasa senang memiliki pacar.
Tetapi berhari-hari aku semakin merasa menghianati Reihan. Aku bagaikan
seseorang yang selingkuh diam-diam. Aku terlalu munafik, naif dan sangat egois
sebagai seorang manusia. Aku terlalu dibutakan oleh nafsu dan tergoda akan
kebahagiaan semu.
Aku
mencoba menenangkan diri. Ini bukan salahku menerima Romi. Toh aku dan Reihan
tidak ada ikatan apa-apa lagi. Reihan hanya berkomitmen untuk tidak berpacaran
lagi setelah putus dengan ku. Itu kan janji Reihan, bukan janji ku. Salah
Reihan yang membiarkan ku menunggu tanpa kepastian. Jika sejak awal Reihan
tidak mengakhiri hubungan ini dan bersedia untuk menjalani hubungan jarak jauh,
aku berjanji akan selalu setia dengan nya. Aku selalu meyakinkan hati bahwa
Reihan yang salah, dia yang bodoh telah menyia-nyiakanku. Tetapi percuma,
batinku bergejolak. Itu hanyalah kalimat-kalimat pembelaan diri karena tak
sanggup mengakui kenyataan bahwa aku memang salah.
Air
mata ini menetes lagi saat aku melihat raut wajah Reihan yang tersenyum lepas
di layar laptopku. Aku merasa bersalah dengannya. Tidak. Mungkin lebih tepatnya
aku merasa bersalah kepada diri ku sendiri.
Aku
menjalani sebuah hubungan dengan seorang laki-laki yang sebenarnya akupun tidak
tahu bagaimana perasaanku kepadanya. Romi teramat baik. Di mataku dia bagaikan
sesosok laki-laki yang begitu menghargai perempuan. Sehingga sebagai seorang
perempuan, aku merasa sangat tersanjung karena sikapnya. Aku diperlakukan bak
seorang tuan putri. Setiap hari dia mengirimi ku mawar merah. Setiap malam,
Romi menelponku bercerita tentang banyak hal. Aku tidak pernah kehabisan bahan
obrolan dengannya setiap malam. Bagiku, Romi adalah seorang teman curhat dan
rekan bermain yang asik. Jauh berbeda ketika aku bersama Reihan.
Aku
dan Reihan bagaikan rekan kerja. Aku terlalu canggung bersama Reihan. Obrolan
kami pun terkesan kaku bahkan seperti rutinitas. Bicara tentang kuliah, teman,
organisasi dan cita-cita. Tetapi justru pembicaraan dengan Reihan itulah yang
selalu membuatku semangat untuk terus belajar dan berkarya.
Beberapa
bulan dekat dengan Romi, tidak ada perasaan cinta sedikitpun di hatiku untuknya.
Aku tetap berusaha menjaga hati dan perasaanku untuk Reihan. Hingga pada
akhirnya, teman-temanku geram akan sikapku yang tidak realistis.
“Sampai
kapan kau terus menutup diri untuk laki-laki lain? Reihan yang sekarang jauh
disana belum tentu masih mempunyai perasaan yang sama untukmu. Reihan sudah
melupakanmu. Mungkin saat ini Reihan sedang bersenang-senang dengan perempuan
lain. Sedangkan lihat kau di sini? Ada begitu banyak laki-laki yang ingin
menjadikan mu sebagai pacarnya, tetapi kamu masih mengharapkan Reihan?
Realistis lah sedikit. Pilihlah satu dari laki-laki itu.”
Aku
hanya terdiam memikirkan perkataan teman-teman. Mungkin memang sudah saatnya
aku melupakan Reihan. Melupakan ‘pangeran impianku’ yang selalu kuyakini bahwa
kami akan berjodoh. Mungkin memang sudah saatnya aku membuka hati. Toh tidak
ada salahnya aku memberi kesempatan untuk Romi. Terbesit di hati, aku juga
ingin merasakan masa remaja seperti teman-teman yang lain. Merasakan bagaimana
rasanya pacaran, kencan, dan diperlakukan spesial oleh seorang laki-laki – yang
tak pernah kudapatkan dari Reihan.
Aku
begitu terkesan ketika subuh-subuh Romi datang ke kos-kosan ku dengan membawa bucket bunga dan sepotong coklat. Aku
yang sedang memakai piyama terkejut melihat Romi berlutut dan memintaku untuk
menjadi kekasihnya. Perempuan mana yang tidak tersanjung dengan semua itu.
Seperti yang sudah aku pertimbangkan, aku memutuskan untuk mencoba menjalani
hubungan dengan Romi.
Hari-hari
kujalani dengan status baru. Pacaran. Aku merasa bagaikan remaja pada umumnya.
Memiliki seorang pacar yang selalu menemani. Tetapi lama-kelamaan aku merasa
bosan. Aku malas dengan rutinitas pacaran yang harus memberi kabar setiap saat.
Aku malas harus membagi waktu untuk bertemu dengannya.
Aku
ingin mengakhiri hubunganku dengan Romi. Bagaimanapun juga aku masih mencintai Reihan.
Aku merasa aku telah menghianati cintaku pada Reihan.
Waktu
berlalu hingga Reihan mengetahui hubunganku dengan Romi. Aku tidak tahu apa
yang ada dibenak Reihan saat mengetahui hubunganku. Aku begitu malu dengan
diriku sendiri, aku malu dengan Reihan.
Perlahan
aku mulai sedikit menjauh dari Romi. Aku sempurna lupa bahwa aku memiliki pacar
ketika aku bersama teman-teman. Aku sering meninggalkan handphone-ku di kamar dan tidak memberi Romi kabar seharian. Tanpa
aku sadari, Romi mulai terbiasa tanpa kehadiranku. Pun aku tidak sadar bahwa
ada sosok wanita lain yang hadir ketika aku tidak ada disamping Romi.
Tiga
bulan pacaran dengan Romi, akhirnya aku putus. Tidak beberapa lama setelah aku
putus, ternyata Romi sudah jadian lagi dengan seorang perempuan yang selama ini
menemani Romi selama aku tidak ada. Ah, sudahlah. Aku tidak mau berasumsi
macam-macam. Apa bedanya aku dengan Romi. Jika aku mencintai orang lain ketika
berpacaran dengan Romi, tidak salah jika Romi melakukan hal yang sama.
Setelah
kejadian ini, aku tersadar bahwa cinta ku memang hanyalah Reihan. Aku kembali memutuskan
untuk menunggu nya. Aku yakin Reihan juga masih mencintaiku. Aku yakin Reihan
akan memaafkan kesalahanku. Pun aku selalu yakin bahwa aku dan Reihan kelak
akan dipersatukan dalam ikatan yang suci. Aku memutuskan untuk tidak berpacaran
lagi yang menurutku sia-sia. Aku akan terus memperbaiki diri dan memantaskan
diri agar kelak aku bisa bersanding dengan Reihan. Aku harus hebat agar aku
pantas menjadi pendamping Reihan.
Orang
bijak bilang, masa lalu tempatnya di belakang agar tidak mengganggu. Tapi
bagiku, aku masih memiliki sedikit harapan bahwa masa lalu ku kelak akan
menjadi masa depanku pula. Reihan semakin tinggi, hebat dan luar biasa dengan
segudang prestasi yang dia miliki. Bagiku menggapainya sekarang sungguh tinggi.
Aku akan berusaha sebisaku untuk menjadi lebih baik lagi agar dapat
mensejajarkan diri dengan nya. Minimal selangkah tepat di belakangnya, tidak
berada terlalu jauh di belakang. Aku belajar banyak hal, berusaha memantaskan
diri dan mencintainya dalam diam dari kejauhan. Berharap menjadi pribadi yang
lebih baik lagi.
KECEWA
Satu
tahun setelah aku putus dari Romi dan memutuskan untuk sendiri, terdengar kabar
bahwa Reihan telah memiliki pacar baru (lagi). Sungguh, hati ini terasa
benar-benar teriris. Hati terasa perih bagaikan ada luka menganga yang disiram
lagi dengan larutan asam kuat. Reihan yang selama ini aku yakini, Reihan yang
selama ini aku percaya?
Seharusnya
sejak awal kuteruskan saja cinta dalam diamku pada Reihan. Seharusnya dari dulu
tak pernah kuizinkan diriku terhanyut akan pesona Reihan sehingga membiarkan Reihan
keluar-masuk dalam kehidupanku. Seharusnya selalu kuingat janji ku pada ibu,
menjaga diri dari hal pacaran masa remaja yang tak pernah bisa melindungi diri
dari rasa patah hati.
Seharusnya,
seharusnya dan seharusnya. Ah, menyesal dan menyalahkan keadaan memang yang
paling mudah. Tak boleh kusesali yang telah lalu, biarlah menjadi pelajaran.
Mungkin ini memang jalan Tuhan. Bagaimanapun, Reihan mengajarkan ku banyak hal,
termasuk definisi cinta ku sendiri.
Mungkinkah
yang kurasakan saat ini juga pernah dirasakan oleh Reihan ketika aku
berhubungan dengan Romi?
Aku
tak pernah tahu bagaimana sesungguhnya perasaan Reihan terhadapku selama empat
tahun belakangan. Mungkin hanya aku yang terlalu berharap padahal Reihan tak
pernah memberikanku harapan. Atau mungkin aku yang terlalu percaya diri dan
terlalu meyakini hal-hal yang belum pasti.
Tetapi
rasa yang kurasakan kali ini berbeda dengan rasa sakit dulu. Tidak ada air mata
lagi untuk Reihan. Tidak ada kesedihan yang mendalam untuk Reihan. Pun tidak
ada penyesalan karena Reihan.
Bukan
perasaan cemburu yang kurasakan, bukan sedih dan bukan pula marah. Hanya
kecewa. Kecewa karena Reihan yang akhir-akhir ini telah kuyakini telah
berhijrah. Kecewa karena Reihan tidak sehebat yang aku bayangkan. Kecewa karena
Reihan yang katanya akan terus istiqomah tidak ingin pacaran yang menurutnya tidak
ada manfaatnya. Kecewa karena Reihan bilang tidak dekat dengan perempuan
manapun setelah putus dengan ku. Kecewa karena…….,
Ah
sudahlah. Rasa kecewa ini hadir karena besarnya harapan yang kupertaruhkan
untuknya. Benar kata ibu, janganlah berharap kepada manusia, berharaplah hanya
kepada Sang Pencipta. Karena berharap kepada manusia itu menyakitkan.
MEMPERBAIKI NIAT
Mengalami kegagalan beberapa kali
dalam hal cinta membuatku galau. Lagi, lagi dan lagi aku galau karena orang
yang sama. Menangisi Reihan bukan hal yang baru bagiku. Perlahan, aku mulai
mendekatkan diri kepada Allah. Aku mengadu kepada Allah tentang setiap
masalahku. Mencoba mencari titik terang, pencerahan dan kedamaian hati. Aku
mulai bergaul dengan teman-teman muslim yang senang berdakwah. Aku mulai
mengikuti pengajian dan kajian tentang cinta. Aku mulai menyukai membaca
buku-buku agama, membaca buku-buku tentang cinta dan pacaran dalam islam.
Astagfirullah.
Berulangkali aku beristighfar. Ya Allah ampuni aku yang telah salah memahami
makna dan arti cinta yang sebenarnya. Ampuni aku yang banyak berbuat dosa
karena salah menempatkan cinta. Cinta yang hakiki dan sebenar-benarnya cinta
hanyalah kepada-Mu. Semoga cinta ku kepada Reihan tidak melebihi cintaku
kepada-Mu. Aku mencintai Reihan karena Engkau menitipkan perasaan ini kepadaku.
Semoga aku mencintai Reihan karena Engkau Ya Allah dan tetap selalu di
jalan-Mu.
Sebenarnya
cinta itu apa? Setiap orang punya pandangannya sendiri tentang cinta. Apakah
cinta itu berubah-ubah? Apakah benar ini cinta ataukah hanya nafsu dan ambisi
semata? Satu hal yang selalu aku yakini tentang cinta. Cinta itu ikhlas. Tapi
sunggung, ikhlas itu tidak mudah. Belajarnya pun seumur hidup.
Final
dari kisah cinta dua insan manusia adalah pernikahan. Jodoh sudah diatur oleh
Sang Maha Cinta. Jodoh tidak akan tertukar. Jika memang berjodoh, pasti akan
bersatu. Pun jika tidak, sudah pasti akan mendapatkan yang terbaik. Itu yang
dikatakan Reihan dulu.
Bagaimanapun, aku akan tetap
memilih untuk sendiri. Sampai suatu saat seseorang (entah siapa) siap untuk
menghalalkan ku. Siap menjadi imam dan selalu membimbingku dalam kebaikan.
Kapanpun itu. Aku tidak ingin berpacaran lagi, bukan karena Reihan. Bagiku
pacar adalah mantan yang tertunda. Jika bukan karena putus, ya menikah. Tetapi
sangat sedikit sekali orang yang berpacaran kemudian langsung menikah. Jika
memang cinta, kenapa tidak langsung menikah saja? Kenapa harus buang-buang
waktu untuk berpacaran? Jika alasan ingin mengenal calon pasangan lebih dulu,
kan bisa ta’aruf. Tetapi sayang, proses ta’aruf sering disalah artikan oleh
remaja kebanyakan. Ta’aruf tidak sama dengan pacaran, ta’aruf itu berbeda.
Banyak orang mengaku nya ta’aruf padahal kelakuannya seperti pacaran. Ibarat
pacaran terselubung. Ah, bagiku itu semua sama saja. Bukankah pengakuan
‘pacaran’ hanya kita yang memberi ‘gelar’ itu? Entah itu namanya ‘pacaran’
ataupun ‘komitmen’, jika tidak sesuai kaidah islam, itu tetap saja sama dengan
‘pacaran’. Entahlah. Kini keputusan ku bulat untuk sendiri. Tidak dengan
Reihan, tidak pula dengan Romi.
Semoga Allah memberi kemudahan
untuk mewujudkan niat baik ini untuk selalu istiqomah. Aku percaya akan kekuatan cinta, kekuatan
hati ini. Allah lah yang dapat membolak-balikkan hati ini. Pun perasaan ini
adalah titipan yang diberikan oleh-Nya. Aku tidak akan pernah tahu bagaimana
perasaanku kedepannya. Apakah rasa ini akan tetap sama ataukah akan digantikan
dengan perasaan yang baru.
Semoga
prinsip ini tetap kokoh dan tidak goyah. Sudah terlalu banyak kesalahan yang
telah aku lakukan. Aku selalu berharap yang terbaik untuk semua orang-orang
yang aku sayangi. Pun aku selalu berharap yang terbaik untuk Reihan.
Sudah
sepatutnya aku memperbaiki niat. Semangat bukan karena orang lain. Memperbaiki
diri bukan karena orang lain. Tapi semua memang untuk kebaikan diri sendiri. Memperbaiki
diri bukan karena ingin mendapatkan jodoh yang baik semata, tetapi untuk
mendapatkan cinta suci-Nya, cinta Sang Maha Cinta.
Terimakasih
telah memberikanku definisi cinta ku sendiri. Cinta itu ikhlas. Entah itu cinta
umat kepada Tuhan nya, cinta ibu kepada anaknya bahkan cinta dua insan anak
manusia. Cinta sesederhana kata ikhlas. Ikhlas memang mudah diucapkan, tetapi
tidak mudah direalisasikan. Sungguh, ikhlas adalah tingkatan ilmu yang paling
tinggi dan belajarnya pun seumur hidup.