Minggu, 24 April 2016

Spesial untuk Ibu Hidayati

Ketika tak ada seorang pun yg percaya kepada ku, ibu selalu percaya. Ketika semua orang meragukanku, ibu optimis bahwa aku mampu. Ketika setiap orang sibuk dengan dunia mereka masing2, waktu ibu selalu ada. Ketika aku bermain dengan gelapnya dunia, ibu hadir membawa cahaya harapan. Ibu adalah cinta sejati paling sejati, sahabat paling terikat, malaikat yg terlihat dan bidadari paling dekat.

Seseorang berkata kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra: 'Ya Ali, kulihat sahabatmu begitu setia sehingga banyak sekali, berapakah sahabatmu itu?' Sayyidina Ali menjawab: 'nanti akan kuhitung setelah aku tertimpa musibah'

Ibu adalah sahabat paling nyata, karena tidak ada cinta yg mengalahkan cinta ibunda yang selalu menyayangi bayi yang dilahirkannya, sesulit apapun sikap anaknya

24/4/2016
Dwi ismayati

Sabtu, 16 April 2016

Aku ingin bersama selamanya

Aku ingin bersama selamanya
Ketika tunas ini tumbuh,
Serupa tubuh yang mengakar
Setiap nafas yang terhembus adalah kata
Angan, debur, dan emosi bersatu dalam  jubbah terpautan
Tangan kita terikat,
Lidah kita menyatu
Maka setiap apa terucap adalah sabda Pandita Ratu.
Ah…  di luar itu pasir… di luar itu debu…
Hanya angin meniup saja, lalu terbang hilang tak ada
Tapi kita tetap menari
Menari, cuma kita yang tahu
Jiwa ini tandu,
Maka duduk saja,
maka akan kita bawa
Semua
Karena…
Kita..
Adalah…
satu



 AADC - Cinta
#Ninaya23


Senin, 11 April 2016

Kamu itu bagaimana, atau aku harus bagaimana?

Apa artinya cinta jika hanya menggoreskan luka? Apa artinya cinta jika diperlakukan dengan cara yang tidak tepat? Jika cinta memang suci, kenapa begitu banyak orang dengan mudahnya mengobral cinta?
Membahas cinta memang tidak akan ada habisnya. Setiap orang memiliki definisinya sendiri tentang cinta. Sebenarnya cinta itu apa? Apakah cinta selalu berubah-ubah dari satu insan ke insan lain, ataukah cinta selalu satu arah setia pada satu hati? Apakah rasa nyaman sama dengan cinta? Ataukah perasaan deg-degan dan tak tentu arah ketika berhadapan dengan lawan jenis disebut cinta? Jangan-jangan cinta hanyalah sebuah kotak kosong yang dapat diisi oleh siapapun sesuka hati. Kotak yang dapat diisi dengan kebahagiaan maupun luka. Tergantung pemiliknya dalam memperlakukan cinta.
Ayah bilang, membahas cinta bagi remaja SMA se-usiaku hanyalah sebatas ‘cinta monyet’.
Sebut saja namanya Reihan. Laki-laki berkulit hitam manis keturunan Arab yang kukenal sejak Sekolah Dasar. Entah sejak kapan perasaan ini mulai ada. Semua tumbuh begitu saja ketika aku memasuki masa pubertas di usia SMA. Tanpa ku sadari, aku telah menyebarkan benih-benih ‘cinta monyet’ yang kemudian tumbuh, berkembang dan pada akhirnya semakin besar.
Aku menyukai setiap hal yang ada pada diri Reihan. Aku menyukai kelebihan dan kekurangannya. Tawanya yang lepas seakan melukiskan bahwa hidupnya tidak pernah memiliki beban. Selalu bahagia. Reihan tidak pernah ambil pusing dengan masalah-masalah yang dianggapnya ‘sepele’. Selalu berpikiran positif dan menyebarkan pengaruh-pengaruh positif kepada orang-orang di sekitarnya. Sosok ‘kekanak-kanakan’ yang masih melekat pada dirinya menjadikannya seseorang yang gila dengan games. Reihan juga memiliki suara merdu yang menyejukkan telinga ketika dia bernyanyi.
Tetapi dibalik itu semua, dia bisa seketika berubah menjadi seseorang yang serius ketika dihadapkan dengan basket, belajar maupun tugas. Dia tahu kapan harus bercanda dan kapan waktu harus serius. Sikapnya yang aktif, ramah, supel serta memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi menjadikannya seorang anggota OSIS dan seorang kapten basket yang bertanggungjawab. Kemampuan akademisnya juga tidak diragukan lagi, Reihan selalu masuk peringkat 10 besar di sekolah.
Kecintaannya pada dunia games dan menyukai hal-hal yang berkaitan dengan komputer membuat Reihan bercita-cita ingin menjadi seorang programmer masa depan. Lebih dari itu, Reihan juga ingin menjadi seorang pembuat games bahkan menjadi hacker handal. Bisa dibilang hidupnya tidak bisa jauh dari komputer.
Satu tahun duduk di kelas dua SMA kuhabiskan waktu ku untuk mengagumi sosoknya yang berbeda dari laki-laki kebanyakan. Semakin aku mencoba menolak perasaanku padanya, semakin sulit aku melupakannya. Aku mencintainya dalam diam. Kusimpan rapat-rapat perasaan ini hingga tak ada seorang pun mengetahuinya kecuali Tuhan.
Aku selalu kaku untuk ngobrol langsung dengannya. Setiap kalimat yang keluar dari bibir tipisnya bagaikan petir dahsyat yang menyambar hatiku. Sekali lagi perasaan itu selalu ku tepis dengan teganya. Aku tidak boleh jatuh cinta. Aku sudah berjanji kepada ibu bahwa aku tidak akan pernah berpacaran sebelum lulus SMA. Kata ibu, pacaran saat remaja itu tidak ada manfaatnya dan hanya membuang-buang waktu. Bagaimanapun juga sudah sepatutnya aku menepati janji. Ibu selalu percaya bahwa aku selalu menjadi anak ibu yang baik.
AWAL KISAH
Setahun sudah aku menjadi pemuja rahasia Reihan. Seminggu setelah kenaikan kelas tiga SMA, kudengar kabar bahwa Reihan telah mempunyai seorang pacar.
Berita mengenai Reihan telah memiliki pacar membuat hatiku hancur. Rasanya bagaikan ada setumpuk paku menghantam jantungku. Paku-paku itu tertancap kuat hingga membuat denyut jantungku terasa berdebar semakin kencang.
Dengan egoisnya aku berdoa pada Tuhan agar Reihan secepatnya putus dengan pacarnya. Jika aku tidak bisa memiliki Reihan, maka tidak pula orang lain. Ajaibnya, belum genap seminggu Reihan jadian, aku mendengar bahwa mereka putus.
MENGINGKARI JANJI DENGAN IBU
Tuhan memang baik, Ia mengaulkan doa ku lebih dari yang kuminta. Sabtu 21 agustus – dua hari setelah Reihan putus – dia menyatakan cintanya kepadaku. Aku tak tahu kenapa Reihan begitu cepat move on dari mantan pacarnya dan kenapa Reihan justru memilihku. Tapi biarlah, aku tak peduli. Toh itu hanya masa lalu Reihan. Kesempatan emas ini tidak akan ku sia-siakan. Tanpa berpikir panjang, aku menerima cintanya. Aku resmi menjadi pacar Reihan – tanpa peduli janji kepada ibu. Untuk menutupi kebohongan pada ibu, aku memilih backstreet bersama Reihan.
Meski backstreet, rasa berdosa kepada ibu tetap menghantui. Selama seminggu menjalani hubungan dengan Reihan, aku semakin diselimuti perasaan gelisah. Perasaan bersalah kepada ibu akhirnya mempengaruhi sikapku kepada Reihan. Alih-alih bersikap manis dan menyatakan sayang, justru sikap cuek dan jutek yang kutunjukan kepada Reihan. Tidak sekalipun aku menunjukkan rasa sayangku kepada nya. Jangankan ada kencan, jalan berdua, ataupun ngobrol bersama, bahkan untuk sms Reihan pun aku bingung untuk membalasnya. Aku hanya membalas pesan singkat Reihan dengan jawaban ‘ya’, ‘tidak’ atau menjawab sekenanya. Pun aku tidak pernah ada keberanian untuk mengangkat telpon dari Reihan. Ketika berhadapan langsung dengan Reihan saja, seluruh tubuhku bisa bergetar seperti ada gempa bumi lokal di sekelilingku. Jantungku berdegup kencang bagaikan ingin keluar dari persembunyian.
RASA SAKIT
Tiga minggu berlalu. Kebahagiaan ku merasakan menjadi remaja seutuhnya tidak berlangsung lama. Malam itu, sebuah pesan dari Reihan meluluh lantahkan mimpi-mimpi ku tentang indahnya cinta.
“Assalamualaikum, selamat malam sayang. Maaf jika kata-kata ku kasar. To the point aja ya. Aku gak cinta lagi sama kamu, aku gak bisa lanjutin hubungan kita. Kamu perempuan yang baik, cantik, cerdas dan banyak yang menyukaimu. Aku yakin, suatu saat kamu pasti mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku. Setelah ini aku harap kita bisa berteman seperti sebelumnya. Semoga setelah keputusan ini, gak ada air mata ya. Kalau kamu nangis karena keputusan ini, aku lah orang yang paling bersalah. Ah, mungkin aku terlalu ge-er ya, mana mungkin cewek setegar kamu nangis cuma gara-gara aku yang bukan apa-apa ini. Selamat tinggal. Wassalam.”
Mata bulat ku menatap kosong dinding-dinding kamar. Butiran bening itu mendesak paksa keluar dari persembunyian, mengalir deras tak terbendung bagaikan air terjun jatuh bebas terhempas ke sungai tanpa arah. Aku menarik nafas panjang dan sejenak memejamkan mata, berharap semua yang terjadi hanya mimpi.
Belum genap satu bulan aku putus dengan Reihan, belum sembuh luka yang ditorehkan Reihan, sekali lagi aku mendengar kabar bahwa Reihan sudah menjalani hubungan lagi dengan perempuan lain.
Sakit? Tentu. Manusiawi jika aku merasakan sakit. Bagaikan deburan ombak dan gemuruh petir menyambar menjadi satu didadaku saat mendengar berita itu. Berbagai macam pertanyaan timbul dibenakku. Bagaimana bisa Reihan jadian dengan perempuan lain? Bukankah selama ini dia hanya dekat denganku? Bukankah kedekatan diantara kami merupakan suatu yang spesial? Atau mungkin, hanya aku sajalah yang merasa ini spesial?
Rasa sakit ini ribuan kali lipat lebih sakit daripada dilempari duri atau dihujani batu sekalipun. Sekali lagi aku berdoa kepada Tuhan agar Reihan secepatnya putus dengan pacar barunya. Meskipun begitu, tidak ada niatan sedikitpun dariku untuk menggoda Reihan agar kembali kepada ku. Tugasku hanyalah menunggu. Aku sangat yakin dalam hitungan hari Reihan akan putus. Aku yakin Reihan adalah jodohku. Reihan adalah cinta sejatiku, bukan hanya ‘cinta monyet’ seperti yang ayah bilang.
Berhari-berhari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, Reihan bahkan terlihat semakin mesra dengan pacar barunya. Hatiku semakin sakit tatkala melihat mereka berpacaran tepat di depan mataku. Setiap jam pulang sekolah, Reihan dengan sabarnya menunggu perempuan itu keluar kelas dan mengantarkannya pulang. Sungguh, pemandangan yang menyakitkan, membuatku malas bersekolah.
Tetapi dibalik rasa sedih dan cemburuku kepada Reihan, aku tidak pernah menunjukkan nya kepada siapapun. Aku tetap ceria dan tertawa bebas bersama teman-teman. Masa remaja ku tetap indah bersama sahabat-sahabatku meskipun tanpa Reihan.
DIA KEMBALI
Demi waktu, perlahan rasa sakit yang kurasakan pada Reihan berangsur membaik. Waktu memang obat yang paling mujarab. Aku dan Reihan lulus SMA. Aku dan Reihan melanjutkan kuliah di jurusan dan universitas yang berbeda, bahkan di kota yang berbeda pula. Peluang besar bagiku untuk melupakanya. Jarak dan waktu akan membantu membersihkan semua kenangan tentang Reihan.
Aku mencoba hidup baru di perantauan. Teman baru, suasana baru dan sebagai mahasiswi baru. Semua tanpa Reihan. Tidak ada Reihan, tidak ada cemburu dan tidak ada pemandangan yang menyakitkan itu lagi.
Sebulan resmi menjadi seorang mahasiswi. Sosok Reihan tiba-tiba hadir kembali ke dalam hidupku. Reihan sudah putus. Aku tak pernah tahu kenapa Reihan putus dan aku tak pernah mau tahu. Biarlah itu hanya masa lalu Reihan – meski aku juga masa lalu nya. Mungkin Reihan putus karena dia tidak bisa melupakanku? Rasa percaya diriku yang berlebihan mulai muncul. Tetapi dugaan ku tidak sepenuhnya salah. Tanpa basi-basi Reihan memintaku menjadi kekasihnya kembali.
Niat untuk melupakan Reihan semua gagal total. Cintaku kepada Reihan terlalu besar. Bahkan teramat besar, lebih besar dari rasa sakit hatiku padanya. Aku selalu memaafkan Reihan, terlepas dia minta maaf atau tidak. Selalu ada ruang spesial untuk nya dihatiku. Meskipun begitu, aku tidak pernah lupa apa yang telah terjadi antara aku dengannya. Karena sejatinya, memaafkan bukan berarti melupakan.
Aku kembali luluh. Aku tidak mampu menolak Reihan meskipun hanya dengan kata-kata sederhananya. Aku berharap dengan adanya hubungan kedua ini dapat memperbaiki hubungan kami sebelumnya.
Toh sekarang aku sudah lulus SMA. Aku bukan seorang remaja SMA yang memiliki janji konyol dengan ibu. Kini aku sorang mahasiswi, aku tahu baik-buruknya, pun aku bisa melindungi diriku dari patah hati. Aku akan belajar menjadi pacar yang baik untuk Reihan. Pelan-pelan, aku mulai berubah. Aku  tidak lagi cuek seperti dulu. Kini aku lebih perhatian dengan hubunganku.
DIA PERGI UNTUK HIJRAH
Tidak terasa tiga bulan aku menjalani hubungan jarak jauh dengan Reihan. Aku merasa nyaman LDR-an dengan Reihan. Aku tidak harus berhadapan langsung dengannya dan menunjukkan wajah ku yang merah padam seperti kepiting rebus. Pun aku tidak perlu merasa tegang dan bergetar ketika ngobrol dengannya. Menurutku ini adalah awal yang baik untukku belajar mencintai dengan cara yang baik dan benar.
Tetapi kemesraan itu tidak berlangsung lama. Masa lalu itu terulang lagi. Hanya tiga bulan berhubungan jarak jauh, Reihan memutuskan untuk mengahiri hubungan ini. Kali ini memang keputusan dewasa dari seorang Reihan.
Selama beberapa bulan menjadi mahasiswa, Reihan banyak berubah. Reihan semakin sibuk. Bukan hanya tugas kampus dan basket yang menyita waktunya, tetapi dia juga sibuk mengikuti pengajian sana-sini. Waktu ku dengan Reihan untuk sekadar sms-an memberi kabar semakin terbatas. Bahkan bisa seminggu sekali aku baru bisa mendapat kabar dari Reihan. Tapi bagiku itu tidak masalah. Sejak SMA aku maklum dengan kesibukannya. Apalagi setelah menjadi seorang mahasiswa, sudah pasti kesibukan akan berlipat ganda.
Tetapi bukan itu poin pentingnya. Reihan mulai semakin memahami agama – katanya. Mengikuti pengajian dan Rohis di kampus. Alasannya ingin putus sederhana, bukan karena tidak cinta lagi, bukan pula karena wanita lain. Semua itu karena pacaran tidak ada manfaatnya. Lebih baik sama-sama belajar, menjadi mahasiswa yang baik di kampus dan sama-sama menjalani amanah orang tua untuk menuntut ilmu di tanah rantau. Jika memang jodoh tidak akan kemana.
Aku bisa menerima alasan-alasan itu. Pada akhirnya aku putus dengan Reihan. Aku setuju dengan alasannya nya. Jodoh sudah ada yang mengatur, tidak akan tertukar.
Aku selalu yakin bahwa Reihan adalah jodohku. Aku yakin Reihan masih mencintaiku. Justru karena cinta nya yang tulus lah akhirnya dia melepasku. Bukankah hakikat mencintai adalah melepaskan? Reihan ingin menjaga cinta suci kami hingga ikatan suci pernikahan menyatukan, bukan dengan cara pacaran. Aku akan menunggu Reihan sebagaimana Reihan yang juga menungguku.
AKU TERGODA
Satu tahun berlalu menjadi mahasiswi di tanah rantau. Kali ini benar-benar tanpa Reihan. Aku hanya melakukan tugasku, yaitu menunggu. Menjaga diri agar tidak saling tergoda. Aku selalu mendukung apapun yang dilakukan Reihan. Begitupun dengan perjalanan hijrah nya menjadi seseorang yang lebih sholeh. Tidak ada salahnya tidak pacaran saat ini. Toh nantinya Reihan akan menjadi imam ku yang halal. Poin tambahan untuk Reihan jika ia sholeh, ia dapat membimbingku menjadi lebih baik.
Tetapi ternyata menunggu adalah hal yang melelahkan. Godaan terus saja datang. Teman-temanku sudah memiliki pacar. Sedangkan aku tetap sendiri menunggu Reihan yang entah bagaimana cerita dan kabarnya.
Tahun kedua aku menjadi mahasiswi, akhirnya aku menerima lelaki baru dalam hidupku. Dia adalah Romi, teman kampusku. Awalnya aku merasa senang memiliki pacar. Tetapi berhari-hari aku semakin merasa menghianati Reihan. Aku bagaikan seseorang yang selingkuh diam-diam. Aku terlalu munafik, naif dan sangat egois sebagai seorang manusia. Aku terlalu dibutakan oleh nafsu dan tergoda akan kebahagiaan semu.
Aku mencoba menenangkan diri. Ini bukan salahku menerima Romi. Toh aku dan Reihan tidak ada ikatan apa-apa lagi. Reihan hanya berkomitmen untuk tidak berpacaran lagi setelah putus dengan ku. Itu kan janji Reihan, bukan janji ku. Salah Reihan yang membiarkan ku menunggu tanpa kepastian. Jika sejak awal Reihan tidak mengakhiri hubungan ini dan bersedia untuk menjalani hubungan jarak jauh, aku berjanji akan selalu setia dengan nya. Aku selalu meyakinkan hati bahwa Reihan yang salah, dia yang bodoh telah menyia-nyiakanku. Tetapi percuma, batinku bergejolak. Itu hanyalah kalimat-kalimat pembelaan diri karena tak sanggup mengakui kenyataan bahwa aku memang salah.
Air mata ini menetes lagi saat aku melihat raut wajah Reihan yang tersenyum lepas di layar laptopku. Aku merasa bersalah dengannya. Tidak. Mungkin lebih tepatnya aku merasa bersalah kepada diri ku sendiri.
Aku menjalani sebuah hubungan dengan seorang laki-laki yang sebenarnya akupun tidak tahu bagaimana perasaanku kepadanya. Romi teramat baik. Di mataku dia bagaikan sesosok laki-laki yang begitu menghargai perempuan. Sehingga sebagai seorang perempuan, aku merasa sangat tersanjung karena sikapnya. Aku diperlakukan bak seorang tuan putri. Setiap hari dia mengirimi ku mawar merah. Setiap malam, Romi menelponku bercerita tentang banyak hal. Aku tidak pernah kehabisan bahan obrolan dengannya setiap malam. Bagiku, Romi adalah seorang teman curhat dan rekan bermain yang asik. Jauh berbeda ketika aku bersama Reihan.
Aku dan Reihan bagaikan rekan kerja. Aku terlalu canggung bersama Reihan. Obrolan kami pun terkesan kaku bahkan seperti rutinitas. Bicara tentang kuliah, teman, organisasi dan cita-cita. Tetapi justru pembicaraan dengan Reihan itulah yang selalu membuatku semangat untuk terus belajar dan berkarya.
Beberapa bulan dekat dengan Romi, tidak ada perasaan cinta sedikitpun di hatiku untuknya. Aku tetap berusaha menjaga hati dan perasaanku untuk Reihan. Hingga pada akhirnya, teman-temanku geram akan sikapku yang tidak realistis.
“Sampai kapan kau terus menutup diri untuk laki-laki lain? Reihan yang sekarang jauh disana belum tentu masih mempunyai perasaan yang sama untukmu. Reihan sudah melupakanmu. Mungkin saat ini Reihan sedang bersenang-senang dengan perempuan lain. Sedangkan lihat kau di sini? Ada begitu banyak laki-laki yang ingin menjadikan mu sebagai pacarnya, tetapi kamu masih mengharapkan Reihan? Realistis lah sedikit. Pilihlah satu dari laki-laki itu.”
Aku hanya terdiam memikirkan perkataan teman-teman. Mungkin memang sudah saatnya aku melupakan Reihan. Melupakan ‘pangeran impianku’ yang selalu kuyakini bahwa kami akan berjodoh. Mungkin memang sudah saatnya aku membuka hati. Toh tidak ada salahnya aku memberi kesempatan untuk Romi. Terbesit di hati, aku juga ingin merasakan masa remaja seperti teman-teman yang lain. Merasakan bagaimana rasanya pacaran, kencan, dan diperlakukan spesial oleh seorang laki-laki – yang tak pernah kudapatkan dari Reihan.
Aku begitu terkesan ketika subuh-subuh Romi datang ke kos-kosan ku dengan membawa bucket bunga dan sepotong coklat. Aku yang sedang memakai piyama terkejut melihat Romi berlutut dan memintaku untuk menjadi kekasihnya. Perempuan mana yang tidak tersanjung dengan semua itu. Seperti yang sudah aku pertimbangkan, aku memutuskan untuk mencoba menjalani hubungan dengan Romi.
Hari-hari kujalani dengan status baru. Pacaran. Aku merasa bagaikan remaja pada umumnya. Memiliki seorang pacar yang selalu menemani. Tetapi lama-kelamaan aku merasa bosan. Aku malas dengan rutinitas pacaran yang harus memberi kabar setiap saat. Aku malas harus membagi waktu untuk bertemu dengannya.
Aku ingin mengakhiri hubunganku dengan Romi. Bagaimanapun juga aku masih mencintai Reihan. Aku merasa aku telah menghianati cintaku pada Reihan.
Waktu berlalu hingga Reihan mengetahui hubunganku dengan Romi. Aku tidak tahu apa yang ada dibenak Reihan saat mengetahui hubunganku. Aku begitu malu dengan diriku sendiri, aku malu dengan Reihan.
Perlahan aku mulai sedikit menjauh dari Romi. Aku sempurna lupa bahwa aku memiliki pacar ketika aku bersama teman-teman. Aku sering meninggalkan handphone-ku di kamar dan tidak memberi Romi kabar seharian. Tanpa aku sadari, Romi mulai terbiasa tanpa kehadiranku. Pun aku tidak sadar bahwa ada sosok wanita lain yang hadir ketika aku tidak ada disamping Romi.
Tiga bulan pacaran dengan Romi, akhirnya aku putus. Tidak beberapa lama setelah aku putus, ternyata Romi sudah jadian lagi dengan seorang perempuan yang selama ini menemani Romi selama aku tidak ada. Ah, sudahlah. Aku tidak mau berasumsi macam-macam. Apa bedanya aku dengan Romi. Jika aku mencintai orang lain ketika berpacaran dengan Romi, tidak salah jika Romi melakukan hal yang sama.
Setelah kejadian ini, aku tersadar bahwa cinta ku memang hanyalah Reihan. Aku kembali memutuskan untuk menunggu nya. Aku yakin Reihan juga masih mencintaiku. Aku yakin Reihan akan memaafkan kesalahanku. Pun aku selalu yakin bahwa aku dan Reihan kelak akan dipersatukan dalam ikatan yang suci. Aku memutuskan untuk tidak berpacaran lagi yang menurutku sia-sia. Aku akan terus memperbaiki diri dan memantaskan diri agar kelak aku bisa bersanding dengan Reihan. Aku harus hebat agar aku pantas menjadi pendamping Reihan.
Orang bijak bilang, masa lalu tempatnya di belakang agar tidak mengganggu. Tapi bagiku, aku masih memiliki sedikit harapan bahwa masa lalu ku kelak akan menjadi masa depanku pula. Reihan semakin tinggi, hebat dan luar biasa dengan segudang prestasi yang dia miliki. Bagiku menggapainya sekarang sungguh tinggi. Aku akan berusaha sebisaku untuk menjadi lebih baik lagi agar dapat mensejajarkan diri dengan nya. Minimal selangkah tepat di belakangnya, tidak berada terlalu jauh di belakang. Aku belajar banyak hal, berusaha memantaskan diri dan mencintainya dalam diam dari kejauhan. Berharap menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
KECEWA
Satu tahun setelah aku putus dari Romi dan memutuskan untuk sendiri, terdengar kabar bahwa Reihan telah memiliki pacar baru (lagi). Sungguh, hati ini terasa benar-benar teriris. Hati terasa perih bagaikan ada luka menganga yang disiram lagi dengan larutan asam kuat. Reihan yang selama ini aku yakini, Reihan yang selama ini aku percaya?
Seharusnya sejak awal kuteruskan saja cinta dalam diamku pada Reihan. Seharusnya dari dulu tak pernah kuizinkan diriku terhanyut akan pesona Reihan sehingga membiarkan Reihan keluar-masuk dalam kehidupanku. Seharusnya selalu kuingat janji ku pada ibu, menjaga diri dari hal pacaran masa remaja yang tak pernah bisa melindungi diri dari rasa patah hati.
Seharusnya, seharusnya dan seharusnya. Ah, menyesal dan menyalahkan keadaan memang yang paling mudah. Tak boleh kusesali yang telah lalu, biarlah menjadi pelajaran. Mungkin ini memang jalan Tuhan. Bagaimanapun, Reihan mengajarkan ku banyak hal, termasuk definisi cinta ku sendiri.
Mungkinkah yang kurasakan saat ini juga pernah dirasakan oleh Reihan ketika aku berhubungan dengan Romi?
Aku tak pernah tahu bagaimana sesungguhnya perasaan Reihan terhadapku selama empat tahun belakangan. Mungkin hanya aku yang terlalu berharap padahal Reihan tak pernah memberikanku harapan. Atau mungkin aku yang terlalu percaya diri dan terlalu meyakini hal-hal yang belum pasti.
Tetapi rasa yang kurasakan kali ini berbeda dengan rasa sakit dulu. Tidak ada air mata lagi untuk Reihan. Tidak ada kesedihan yang mendalam untuk Reihan. Pun tidak ada penyesalan karena Reihan.
Bukan perasaan cemburu yang kurasakan, bukan sedih dan bukan pula marah. Hanya kecewa. Kecewa karena Reihan yang akhir-akhir ini telah kuyakini telah berhijrah. Kecewa karena Reihan tidak sehebat yang aku bayangkan. Kecewa karena Reihan yang katanya akan terus istiqomah tidak ingin pacaran yang menurutnya tidak ada manfaatnya. Kecewa karena Reihan bilang tidak dekat dengan perempuan manapun setelah putus dengan ku. Kecewa karena…….,
Ah sudahlah. Rasa kecewa ini hadir karena besarnya harapan yang kupertaruhkan untuknya. Benar kata ibu, janganlah berharap kepada manusia, berharaplah hanya kepada Sang Pencipta. Karena berharap kepada manusia itu menyakitkan.
MEMPERBAIKI NIAT
Mengalami kegagalan beberapa kali dalam hal cinta membuatku galau. Lagi, lagi dan lagi aku galau karena orang yang sama. Menangisi Reihan bukan hal yang baru bagiku. Perlahan, aku mulai mendekatkan diri kepada Allah. Aku mengadu kepada Allah tentang setiap masalahku. Mencoba mencari titik terang, pencerahan dan kedamaian hati. Aku mulai bergaul dengan teman-teman muslim yang senang berdakwah. Aku mulai mengikuti pengajian dan kajian tentang cinta. Aku mulai menyukai membaca buku-buku agama, membaca buku-buku tentang cinta dan pacaran dalam islam.
Astagfirullah. Berulangkali aku beristighfar. Ya Allah ampuni aku yang telah salah memahami makna dan arti cinta yang sebenarnya. Ampuni aku yang banyak berbuat dosa karena salah menempatkan cinta. Cinta yang hakiki dan sebenar-benarnya cinta hanyalah kepada-Mu. Semoga cinta ku kepada Reihan tidak melebihi cintaku kepada-Mu. Aku mencintai Reihan karena Engkau menitipkan perasaan ini kepadaku. Semoga aku mencintai Reihan karena Engkau Ya Allah dan tetap selalu di jalan-Mu.
Sebenarnya cinta itu apa? Setiap orang punya pandangannya sendiri tentang cinta. Apakah cinta itu berubah-ubah? Apakah benar ini cinta ataukah hanya nafsu dan ambisi semata? Satu hal yang selalu aku yakini tentang cinta. Cinta itu ikhlas. Tapi sunggung, ikhlas itu tidak mudah. Belajarnya pun seumur hidup.
Final dari kisah cinta dua insan manusia adalah pernikahan. Jodoh sudah diatur oleh Sang Maha Cinta. Jodoh tidak akan tertukar. Jika memang berjodoh, pasti akan bersatu. Pun jika tidak, sudah pasti akan mendapatkan yang terbaik. Itu yang dikatakan Reihan dulu.
Bagaimanapun, aku akan tetap memilih untuk sendiri. Sampai suatu saat seseorang (entah siapa) siap untuk menghalalkan ku. Siap menjadi imam dan selalu membimbingku dalam kebaikan. Kapanpun itu. Aku tidak ingin berpacaran lagi, bukan karena Reihan. Bagiku pacar adalah mantan yang tertunda. Jika bukan karena putus, ya menikah. Tetapi sangat sedikit sekali orang yang berpacaran kemudian langsung menikah. Jika memang cinta, kenapa tidak langsung menikah saja? Kenapa harus buang-buang waktu untuk berpacaran? Jika alasan ingin mengenal calon pasangan lebih dulu, kan bisa ta’aruf. Tetapi sayang, proses ta’aruf sering disalah artikan oleh remaja kebanyakan. Ta’aruf tidak sama dengan pacaran, ta’aruf itu berbeda. Banyak orang mengaku nya ta’aruf padahal kelakuannya seperti pacaran. Ibarat pacaran terselubung. Ah, bagiku itu semua sama saja. Bukankah pengakuan ‘pacaran’ hanya kita yang memberi ‘gelar’ itu? Entah itu namanya ‘pacaran’ ataupun ‘komitmen’, jika tidak sesuai kaidah islam, itu tetap saja sama dengan ‘pacaran’. Entahlah. Kini keputusan ku bulat untuk sendiri. Tidak dengan Reihan, tidak pula dengan Romi.
Semoga Allah memberi kemudahan untuk mewujudkan niat baik ini untuk selalu istiqomah.  Aku percaya akan kekuatan cinta, kekuatan hati ini. Allah lah yang dapat membolak-balikkan hati ini. Pun perasaan ini adalah titipan yang diberikan oleh-Nya. Aku tidak akan pernah tahu bagaimana perasaanku kedepannya. Apakah rasa ini akan tetap sama ataukah akan digantikan dengan perasaan yang baru.
Semoga prinsip ini tetap kokoh dan tidak goyah. Sudah terlalu banyak kesalahan yang telah aku lakukan. Aku selalu berharap yang terbaik untuk semua orang-orang yang aku sayangi. Pun aku selalu berharap yang terbaik untuk Reihan.
Sudah sepatutnya aku memperbaiki niat. Semangat bukan karena orang lain. Memperbaiki diri bukan karena orang lain. Tapi semua memang untuk kebaikan diri sendiri. Memperbaiki diri bukan karena ingin mendapatkan jodoh yang baik semata, tetapi untuk mendapatkan cinta suci-Nya, cinta Sang Maha Cinta.

Terimakasih telah memberikanku definisi cinta ku sendiri. Cinta itu ikhlas. Entah itu cinta umat kepada Tuhan nya, cinta ibu kepada anaknya bahkan cinta dua insan anak manusia. Cinta sesederhana kata ikhlas. Ikhlas memang mudah diucapkan, tetapi tidak mudah direalisasikan. Sungguh, ikhlas adalah tingkatan ilmu yang paling tinggi dan belajarnya pun seumur hidup.