Selamat
hari sumpah pemuda 28 Oktober 2015 para pemuda/i Indonesia. Semoga kita
generasi muda Indonesia memiliki rasa nasionalisme yang tinggi untuk Negara
ini.
Nasionalisme?
Di zaman modern saat ini, nasionalisme para pemuda/i Indonesia perlu menjadi
sorotan. Membicarakan mengenai nasionalisme tidak terlepas dari bagaimana rasa
idealisme para pemuda itu sendiri. Mahasiswa yang biasa disebut dengan agent of change saja, hanya beberapa
persen mahasiswa dari seluruh total mahasiswa Indonesia yang memiliki idealisme
tinggi. “Gak usah terlalu idealis lah jadi manusia. Segala sesuatu sesuai
prosedur? Ribet. Realistis aja dengan situasi dan kondisi. Indonesia sudah
terlalu ‘bobrok’ untuk dibenah. Kita yang idealis dan jujur, akan kalah dengan
mereka yang berpikir realistis.”
Memang
benar kita tidak bisa dengan mudah mengganti sistem, mengubah aturan dan menghapuskan
kebiasaan buruk yang sudah terbentuk bertahun-tahun di Indonesia. Apalagi untuk
merubah orang lain sesuai dengan keinginan kita. Impossible. Korupsi? Malas? Pengamen?
Pengemis? Gelandangan? Pengangguran? Pencurian? Pembunuhan? Sudah menjadi hal
yang wajar di Indonesia. Berita mengenai hal buruk Indonesia lebih mudah
teringat di ingatan masyarakat dibandingkan berita baik. Pada akhirnya
masyarakat hanya bisa menyalahkan pemerintah? Saya yakin, pemerintah sudah
berusaha semaksimal mungkin untuk menyejahterakan masyarakat. Karena memang
tidak mudah menjadi pemerintah di pemerintahan yang korupsinya sudah terbentuk
sebelumnya dan terus-menerus. Bahkan korupsi di Indonesia pun sering disebut
sebagai ‘budaya’. Padahal pemerintah itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat.
Karena itu kita memang harus cerdik dalam memilih pemimpin. Atau kita saja yang
menjadi pemimpin suatu saat kelak, agar kita bisa merasakan bagaimana
berkecimpung langsung dalam pemerintahan? Bagaimana harus menjadi pemimpin yang
jujur, cerdik dan mengedepankan masyarakat.
Tapi
jika menjadi pemimpin di pemeritahan tidak memungkinkan, kita bisa melakukannya
dengan cara yang paling sederhana. Kita bisa memulainya dari diri sendiri
dengan berusaha menjadi lebih baik. Bagaimana kepemimpinan akan baik jika
masyarakatnya sendiripun tidak bisa menyayangi diri sendiri dan hanya bisa
menyalahkan pemerintah? Masyarakat menyalahkan pemerintah yang korupsi. Sedangkan pemerintah juga punya alasan
tersendiri kenapa melakukan tindak korupsi.
“Masyarakat
itu cuma bisa ngomong dan menyalahkan pemerintah yang korupsi, karena mereka tidak
merasakan menjadi pemerintah. Seandainya saja mereka duduk di kursi yang saya
tempati sekarang, kemungkinan besar mereka melakukan hal yang sama. Dulu ketika
saya masih menjadi mahasiswa, saya juga sama seperti yang lainnya. Tidak suka
tindakan korupsi, idealisme saya tinggi. Tapi ya lingkungan saya, realistis
saja. Untuk menggapai jabatan ini banyak yang yang harus saya korbankan. Harus
punya modal uang, tenaga dan waktu yang banyak. Sekarang saya duduk di kursi
pemerintahan, kenapa harus saya sia-siakan.”
Di
sinilah diperlukan adanya kerjasama dan saling dukung antara masyarakat dan
pemerintah. Perlu diingat bahwa tidak semua pemerintah itu korupsi, meskipun
sebagian besar memang iya. Disadari atau tidak, dikehidupan nyata sering kita
jumpai korupsi kecil-kecilan. Misalnya korupsi waktu dengan datang terlambat
kerja dan pulang lebih cepat tanpa alasan.
Yang
dikhawatirkan adalah ketika pemerintahan dipimpin oleh orang-orang yang tidak
berkompeten, orang-orang yang tidak memiliki akuntabilitas dan komitmen yang
baik. Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alam dan banyak sumber
daya manusia memiliki potensi untuk menyejahterakan Indonesia. Tapi masalahnya
adalah, pemuda/i Indonesia yang memiliki potensi tersebut justru banyak yang
putus sekolah. Salah satu alasannya adalah biaya. Memang biaya pendidikan
sekarang sudah tidak sesulit zaman dahulu. Sekolah gratis, bantuan dari
pemerintah, beasiswa dimana-mana. Lalu kenapa masih banyak yang putus sekolah?
Sekali lagi, masalah biaya. Banyak orang tua yang masih beranggapan bahwa
jangankan berfikir untuk biaya sekolah, untuk makan saja susah. Jika anak-anak
mereka sekolah, lalu siapa yang membantu mereka mencari nafkah? Untuk apa sekolah
tinggi-tinggi jika pada akhirnya jadi pengangguran? Banyak sarjana yang
menganggur, dan banyak juga yang hanya
lulus SD tetapi bisa menjadi sukses.
Alasan-alasan
tersebut memang tidak bisa disalahkan. Memang benar banyak kita jumpai seperti
itu. Pendidikan memang tidak menjamin kesuksesan, tetapi pendidikan adalah
langkah awal untuk menggapai kesuksesan. Sarjana tetapi pengangguran? Saya
sering tidak habis pikir, kenapa pengangguran masih ada? Padalah setiap
pekerjaan itu sesungguhnya selalu ada jika kita mau mengerjakannya. Tetapi
banyak yang tidak mau berusaha atau bahkan gengsi jika bekerja yang bukan
diharapkannya. Mereka justru lebih mengedepankan rasa malu dan gengsi.
Memangnya salah jika sarjana jadi tukang bakso, sarjana jadi cleaning service, sarjana jadi kasir
atau sarjana jadi tukang roti bakar keliling dan lain sebagainya? Sebenarnya
tidak ada yang salah dengan hal itu. Tapi ya malu, sekolah tinggi-tinggi sampai
sarjana tapi kok cuma jadi cleaning
service. Toh untuk jadi cleaning
service tidak membutuhkan ijazah sarjana. Lebih baik jadi sarjana
pengangguran daripada harus jadi cleaning
service.
Jika
pikiran masyarakat seperti itu, saya sarankan untuk membuangnya jauh-jauh.
Hidup ini berputar, tidak selamanya kita berada diposisi yang enak dan zona
nyaman terus-menerus. Tidak gampang mencari pekerjaan menggunakan ijazah sesuai
jurusan. Misalnya jurusan akuntansi yang melamar pekerjaan ke perusahaan
manapun, tetapi selalu ditolak. Jika sudah seperti ini, kenapa tidak berpikir
untuk membuka usaha sendiri? Terkendala modal? Bisa saja mencoba membuka usaha
dengan modal pas-pasan. Atau jika ingin modal besar, kan bisa melakukan
pinjaman. Masih tidak bisa juga? Ya sedikit berkorbanlah bekerja yang lain
seperti menjadi cleaning service, kemudian
gajinya bisa ditabung untuk modal membuka usaha. Atau dengan cara mengajar atau
memberikan les private kepada anak sekolah. Misalnya mengajar anak SD itu tidak
sulitkan, apalagi bagi seorang sarjana? Selain dapat menyalurkan ilmu yang
dimiliki, ini juga tidak bisa disebut dengan pengangguran. Pun mengajar dan
berbagi ilmu kepada orang lain adalah hal yang mulia.
Yang
lebih disayangkan lagi adalah pemuda/i muda yang cerdas dan berkompeten lebih
memilih untuk mengembangkan kemampuan mereka ke Negara lain. Mereka justru
pergi meninggalkan Indonesia dan ‘memajukan’ Negara lain yang notabene-nya
memang sudah ‘maju’. Ini mungkin sering dipertanyakan oleh masyarakat ‘dimana rasa nasionalisme-nya’?
Sebelum
kita menghakimi orang lain, sebaiknya kita introspeksi diri terlebih dahulu.
Banyak pemuda/i Indonesia yang berkompeten tetapi tidak difasilitasi oleh
Negara. Tetapi justru Negara lain yang melirik untuk mengembangkan potensi yang
dimiliki oleh pemuda/i Indonesia.
Saya
menulis ini tidak untuk menjatuhkan pihak manapun. Saya hanya ingin mengajak
pemuda/i Indonesia yang merupakan generasi penerus bangsa memiliki nasionalisme
yang tinggi untuk Negara, lebih berfikir kritis dan tidak hanya bisa
menyalahkan orang lain.
Dwi
Ismayati
Yogyakarta,
28 Oktober 2015